Mohamad Prakosa (lahir di Yogyakarta, 4 Maret 1960; umur 52 tahun) adalah Menteri Kehutanan pada Kabinet Gotong Royong. Ia adalah lulusan tahun 1982 dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan meraih gelar doktor di bidang Resource Economics and Policy dari University of California, Amerika Serikat pada tahun 1994. Prakosa dikenal juga sebagai politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Karier
1999: Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP
1999-2000: Menteri Pertanian Kabinet Persatuan Nasional
2001-2004: Menteri Kehutanan Kabinet Gotong Royong
2009-2014: Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP
---
Sebelum diangkat menjadi menteri, tidak banyak orang mengenal namanya. Kiprahnya di tengah masyarakat belum banyak terdengar. Ia memang menteri yang dinilai para pengamat paling beruntung berkat kedekatannya dengan Megawati Soekarnoputri. Ia dipercaya mempimpin Departemen Kehutanan Kabinet Gotong-Royong setelah sempat menjabat Menteri Pertanian Kabinet Persatuan.
Tidak banyak orang seberuntung Mohamad Prakosa. Ia diangkat menjadi Menteri Pertanian Kabinet Persatuan karena kedekatannya dengan Megawati. Ia memang salah seorang anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP sebelum diangkat menjadi menteri. Suami dari Ir Sri Agustini ini memiliki anak kembar, Nurul Anjalna dan Ahmad Eka Perkasa (16), serta Ahmad Rangga Buana (9).
Selama menjabat Menteri Pertanian, ia sudah berusaha dengan semampunya untuk bisa berperan mengatasi kerawanan pangan yang terjadi ketika itu. Tapi tetap saja banyak orang tidak terlalu berharap. Sampai akhirnya ia diberhentikan oleh Gus Dur dari jabatan Menteri Pertanian pada 26 Agustus 2000.
Pemberhentiannya itu tidak banyak dipersoalkan oleh masyarakat terutama PDIP sendiri. Tapi ia bernasib baik. Ketika Gus Dur dijatuhkan dari kursi presiden dalam Sidang Istimewa MPR 2001 dan digantikan Megawati Sukarnoputri, Prakosa menegakkan wibawa kembali. Secara mengagum-kan, ia pun diangkat menjadi Menteri Kehutanan Kabinet Gotong-Royong.
Sesungguhnya pengangkatannya sebagai Menteri Kehutanan sesuai dengan latarbelakang pendidikannya. Sebab ia lulusan Fakultas Kehutanan UGM. Namun orang tetap melihat bahwa kalau bukan karena Megawati ia hampir tidak mungkin menjadi menteri. Padahal, Megawati mempercayainya pastilah tidak sekadar hanya karena kedekatan.
Sebelum ditunjuk sebagai Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan, ia pun pernah menjabat Wakil Kepala Perwakilan Food and Agriculture Organization (FAO) di Jakarta. Pria kelahiran Yogyakarta, 4 Maret 1960, ini terakhir juga aktif di Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PDI Perjuangan.
Anggapan seperti ini tentulah menjadi tantangan bagi Prakosa. Ia pun berupaya membuktikan bahwa ia mampu meningkatkan kinerja Departemen Kehutanan yang dipimpinnya. Jika upayanya berhasil, tidak heran bila nanti banyak orang akan mengacungkan jempol kepadanya.
Salah satu problem yang dihadapi departemen ini adalah ekspor illegal kayu bulat (log). Prakosa sendiri mengatakan, setidak-tidaknya setiap tahun tercatat 10 juta m3 kayu bulat (log) diekspor secara ilegal sehingga menimbulkan kerugian devisa nasional yang sangat besar. Tidak hanya kerugian material saja, tapi juga kerugian lingkungan hidup.
Menurut Prakosa, kurangnya koordinasi antarinstansi terkait merupakan salah satu penyebab, mengapa masih banyak terjadi penyelundupan kayu bulat ilegal di samping pula mental aparat Departemen Kehutanan ataupun unsur keamanan lainnya yang masih rendah.
Namun demikian, ia menegaskan, saat ini pihaknya secara tegas akan menindak siapa saja yang terlibat penyelundupan kayu, baik itu perusahaan swasta, aparat pemerintahan maupun rakyat. Ia pun mengimbau masyarakat yang mempunyai data akurat atau laporan mengenai adanya penyelundupan kayu log, supaya melaporkan langsung ke Dephut. "Pasti akan ditindaklanjuti untuk diperiksa," tegasnya.
Lebih daripada itu, Prakosa mengharapkan Indonesia di masa mendatang mampu berperan sebagai pionir atau pelopor bagi upaya penghapusan praktik perdagangan kayu-kayu ilegal di dunia. Sehubungan dengan itu, menurut Prakosa, pemerintah akan melakukan kerja sama dengan negara-negara lain dalam upaya membendung perdagangan kayu-kayu ilegal yang dimasukkan dari Indonesia.
Sementara mengenai dana reboisasi (DR), Prakosa pada Raker dengan Komisi III DPR (18/06/02) mengatakan Departemen Kehutanan tahun 2003 berharap dapat menerima pemasukan dari Dana Reboisasi (DR) sebesar Rp 810 milyar. Dan dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), sebesar Rp 370 milyar. Sementara dari penjualan dokumen lelang, sewa rumah dinas dan gedung, pendapatan dari jasa lembaga keuangan, penerimaan ganti rugi, maupun penjualan aset, Departemen kehutanan berharap memperoleh penerimaan Rp 1,4 milyar.
Dibandingkan penerimaan tahun 2002 yang mencapai Rp3 trilyun, menurut Prakosa, penerimaan tahun ini turun sebesar 60,94 persen. Penurunan itu terjadi karena penerapan kebijakan "soft landing" dengan menurunkan jumlah tebangan secara bertahap.
Menurut Prakosa kebijakan itu dipandang sangat penting untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam yang tersisa, mendukung pemulihan kembali hutan alam yang rusak, dan mewujudkan pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari.
Sentralistik
Dalam menjalankan kebijakan kehutanan, Prakosa menegaskan tidak ada yang bersifat sentralistik dan bertentangan dengan semangat Otonomi Daerah. Hal itu dikemukakannya sehubungan dengan adanya keluhan bahwa ia menjalankan kebijakan yang sentralistik.
Sebab, dalam salah satu butir lima program prioritas Dephut terdapat butir penguatan desentralisasi yang diharapkan seiring dengan semangat Otonomi Daerah. Disebutkannya, dari enam perizinan yang diatur dalam PP No.34/2002, lima kewenangan pemberian izin di antaranya dilimpahkan ke Gubernur atau Bupati/Walikota.
Sementara itu, hanya satu izin yang kewenangannya masih ada di tangan Menhut yakni Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam atau IUPHHK pada hutan tanaman. "Kewenangan itupun tetap melalui rekomendasi Gubernur dan Bupati," tambah Prakosa.
Dikatakannya, wewenang atas pemberian izin yang berada di tangah Menhut itu hanya bersifat sementara untuk menghindari semakin parahnya kerusakan hutan akibat lemahnya kontrol di lapangan atas pemberian izin pemanfaatan kayu yang marak akhir-akhir ini.
Mengenai penerbitan izin Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang menurut PP No.34/2002 menjadi wewenang Menhut, namun pelaksanaan pengesahannya telah dilimpahkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Propinsi sesuai dengan SK Menhut No.6652/Kpts-II/2002 tentang Penugasan Penilaian dan Pengesahan RKT dari IUPHHK pada hutan alam dan hutan tanaman.
Sementara mengenai asap dan kebakaran hutan, Prakosa menegaskan bahwa ia selalu memonitor perkembangan titik api setiap hari dari hasil monitoring satelit NOAA yang ada di Departemen Kehutanan. Meskipun demikian, ia mengakui sangat sulit untuk mengetahui secara tepat penyebab kebakaran hutan, sehingga hal itu ditindaklanjuti dengan pengecekan di lapangan.
Data titik api harian selalu disampaikan kepada dinas kehutanan propinsi dan kabupaten melalui e-mail, sehingga perkembangan titik api dapat diketahui setiap saat. Untuk menanggulangi kebakaran hutan telah dibentuk Brigade Penanggulan Kebakaran (BPK) yang sementara ini diprioritaskan di Riau, Sumatra Utara, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. BPK itu dilengkapi dengan peralatan yang lebih lengkap dan personal sebanyak 1.080 orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar