Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA (lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 8 Oktober 1952; umur 59 tahun) adalah seorang politikus, ekonom, dan akademisi Indonesia.Ia merupakan alumnus Universitas Gadjah Mada Ia adalah Menteri Keuangan pada Kabinet Persatuan Nasional dan Menteri Pendidikan pada Kabinet Indonesia Bersatu.
Sebagai seorang ekonom, Bambang memiliki kepedulian terhadap permasalahan dunia politik dengan terus memantau perkembangan politik di Indonesia. Meskipun Dosen Teladan II tahun 1989 ini memiliki sentuhan dan pemikiran politik dan pernah ikut mendirikan partai politik (Partai Amanat Nasional), namun ia mengakui bahwa dirinya bukan seorang praktisi politik.
Ia menjaga betul keterlibatannya dalam dunia politik, hanya sebatas sumbangsih pemikiran saja. Karena ia melihat adanya keterkaitan yang erat antara politik dan ekonomi. Sedangkan hukum dianggapnya sebagai produk dari proses politik. Semetara ekonomi diwadahi oleh kerangka kebersamaan politik. "Jika kerangkanya saja sudah tidak benar maka kegiatan ekonominya juga tidak benar," kata mantan Ketua Dewan Ekonomi (November 1998-April 1999) ini.
Sejak ada peraturan pemerintah tentang status PNS dalam partai poltik, penerima penghargaan pengabdian kepada negara 20 tahun, pada tahun 1999, ini memutuskan untuk meninggalkan politik praktis. Kalau dibilang ia seorang politisi, ia pikir bukan, tapi ia adalah yang peduli terhadap politik.
Profil
Bambang Sudibyo lahir di Temanggung, Jawa Tengah, 8 Oktober 1952. Ia adalah anak guru agama yang juga berprofesi sebagai petani tembakau dan padi di Temanggung. Bambang adalah anak kelima dari 11 bersaudara. Masa kecil bersama keluarga sampai beranjak remaja ia jalani di desa sekitar Temanggung.
Ia menempuh pendidikan dasar di kotanya, Temanggung. Setelah lulus SD kemudian masuk ke SMP Negeri 2 Temanggung dan melanjut ke SMA Negeri 1 Temanggung. Setiap pagi menuju sekolah ia mengayuh sepeda dari desa ke Temanggung.
Hingga Pada tahun 1972, saat ia berumur 18 tahun, akhirnya Bambang muda merantau ke kota Yogya mencari ilmu yang lebih tinggi. Ia diterima di jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Orangtuanya habis-habisan mendukungnya dalam dana, padahal di keluarganya masih ada 6 adiknya, Tetapi dengan cita-cita yang tinggi semua itu ia jalani dengan semangat yang kuat. Syukurlah semua kesepuluh saudaranya dapat bersekolah semua hingga perguruan tinggi. Bambang berhasil menuntaskan kuliah S1 sebagai sarjana ekonomi dari UGM tahun 1977.
Ayahnya seorang guru yang memiliki idealisme yang tinggi luar biasa. Untuk ukuran pada waktu itu, ayahnya dikenal sebagai orang yang visioner, sebab tidak mungkin untuk seorang guru yang hanya memiliki beberapa hektar tanah berani menyekolahkan anaknya ke Yogya dan Semarang.
Ayahnya seorang yang mau melihat anaknya maju. Ketika ia dan saudara-saudaranya bersekolah, bisa dikatakan hampir seluruh penghasilan yang ada dalam keluarga, seluruhnya diberikan kepada anak-anaknya dan semua digunakan untuk menyiapkan mereka untuk hidup kemudian hari, terutama dalam mencapai ilmu pengetahuan. "Jadi begitu amat besar hutang kami kepada orangtua." kenangnya.
Selesai dari bangku kuliah, ia mendapt tawaran untuk menjadi dosen di UGM. Sejak tahun 1978, Bambang pun mulai mengajar di almamaternya. Padahal waktu itu, sesungguhnya ia ingin sekali bekerja di Bank Indonesia dan bisa saja ia bekerja di BI, Depkeu, atau di bank-bank dan di bisnis besar. Karena tidak sulit bagi seorang sarjana akuntansi dalam memperoleh pekerjaan di Bank Indonesia, yang kesarjanaannya masih sangat langka. Hingga ada yang namanya tunjangan kelangkaan khusus untuk lulusan akuntansi.
Tetapi ia memilih menjadi dosen di UGM. Ayahnya sangat menginginkan ia menjadi dosen di UGM. Ia memilih jalan hidup ini oleh karena sikap hormat kepada ayah dan ibunya dan sebagai rasa ucapan terimakasih kepada orang tuanya yang telah membimbing dan dengan habis-habisan memberikan yang terbaik untuknya. Karena bagi ayahnya berprofesi sebagai dosen atau guru memiliki makna yang tinggi.
Pengajar Riset Akuntansi Manajemen pada program Pascasarjana UGM 1997-1999 ini, selalu mengingat ayahnya seorang yang sederhana, tetapi dikenal sebagai tokoh intelektual, bukan seperti orang kebiasaan. Berbeda dari masyarakat sekitar yang pada umumnya seorang petani. Beliau dapat memiliki visi-visi yang maju ke depan yang tidak kalah dengan visi masyarakat perkotaan pada waktu itu, untuk ukuran waktu itu ayahnya adalah seorang yang berwawasan sangat luas dan berpikiran maju dan menjadi jalan lebar bagi Bammbang untuk maju.
Walaupun dari segi materi tidak memberikan banyak, tetapi dari sisi visi dan wawasan untuk seorang guru di desa bisa dibilang maju meninggalkan rekan-rekannya. Ayahnya itu sangat menghargai terhadap intelektualisme. Contohnya ia melihat pendidikan adalah masa depan untuk anak-anaknya, pendidikan adalah cara menerobos untuk maju, anak-anaknya tidak pernah disiapkan untuk menjadi petani, dan menjadi manusia yang hanya berpikir setting lokal saja tetapi yang ia lihat adalah manusia yang global. Beliau melihat anak-anaknya harus menjadi manusia yang intelektual.
Ia bisa menangkap perasaan ayahnya itu sehingga memutuskan untuk menjadi seorang pengajar. Idealisme ayahnya benar-benar tertanam dalam dirinya, walaupun demikian Bambang berkembang menjadi dirinya sendiri. Pengaruh orangtua sangat besar terutama sang ibu yang memberikan teladan kesabaran.
Bimbingan dari orangtua adalah unsur pertama dalam pembentukan pandangan hidupnya, kendati perkembangan selanjutnya kebanyakan oleh karena upaya-upayanya sendiri, seperti membaca buku bergaul dan sebagainya tetapi yang pertama adalah. Pandangan hidupnya sangat juga dipengaruhi oleh agama. Ia percaya menjadi seorang muslim adalah selalu ingat bahwa hidupnya itu adalah sebuah pengabdian kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Jadi apapun yang dilakukan adalah sebuah pengabdian kepada-Nya. Pengabdian itu bermakna luas sekali, bekerja untuk-Nya, berkeluarga untuk-Nya, menjabat ini, menjabat itu, belajar itu semua adalah pengabdian kepada-Nya.
Memang, hobi utama Bambang sejak dulu adalah membaca. Tema-tema bacaannya tidak hanya terbatas pada bacaan ekonomi saja, melainkan juga bacaan-bacaan agama, buku-buku filsafat, sosial, dan budaya. Selain membaca ia juga senang menanam bunga, ia seorang penggemar bunga. Kalau pulang ke Yogya, kegiatan yang rutin dilakukannya adalah merawat dan menanam koleksi bunga di rumah. Sementara olahraga yang dilakukan hanya jalan kaki ringan, baik ketika di Jakarta maupun ketika di Yogya. Hampir setiap minggu ia berada di Jakarta selama 3 hari, sedangkan di Yogya 4 hari.
Pada tahun 1979 ia menikah dengan Retno Sunarminingsih yang berasal dari keluarga guru. Setelah menikah, isterinya menjadi dosen farmasi di UGM. Istrinya kemudian membuktikan bahwa dirinya menjadi dosen bukan karena KKN dengan suaminya. Terbukti, karir akademik sang istri pun istimewa. Ia kini menjabat sebagai salah seorang Wakil Rektor bidang Penelitian di UGM dengan menyandang gelar profesor doktor.
Pernikahannya menghadirkan dua anak yang berbakat dan cerdas. Anaknya yang paling besar, Dananta Adi Nugraha, kuliah di fakultas ekonomi jurusan akuntansi. Padahal ketika dulu ingin sekali menjadi insinyur, namun ketika berada di kelas tiga SMA, waktu itu Bambang dilantik menjadi menteri keuangan, cita-cita anaknya berubah dari insinyur menjadi sarjana ekonomi. Anakn kedua, Harintho Budhi Wibowo, mengikuti kegemaran ibunya yaitu suka sekali dengan musik. Ia memiliki koleksi musik yang banyak.
Sebagai orangtua, Bambang mengaku kurang sensitif terhadap musik. Namun ia dan isterinya memiliki kesamaan yang sama yaitu sama-sama menyukai lukisan. Menyukai tidak lantas berubah harus memiliki. Terhadap lukisan yang mahal yang tidak mampu dibelinya, ia tidak memaksakan diri untuk memilikinya.
Menikah ternyata bukan halangan bagi Bambang untuk berkarir di bidang akademik. Pada tahun 1979 ia dikirim oleh negara untuk mengambil program MBA di Universitas North Carolina, AS. Desember 1980 ia berhasil menyelesaikan studinya dan kembali ke tanah air. Kesempatan studi ke luar negeri kembali diterimanya pada Januari 1982. Ia pun kembali meninggalkan tanah air untuk mengenyam pendidikan di Universitas Kentucky sampai tahun 1985 untuk mengambil program doktor bidang business adminitration.
Setelah pulang ke Tanah Air, ia kembali mengajar di UGM. Pada tahun 1988 ia bergabung dalam proses pendirian MM UGM. Kemudian menjadi salah satu anggota pengurus atau anggota direksi dari program MM UGM, serta menjadi pengelola bidang program Keuangan. Pada tahun 1988 ia banyak aktif di pusat studi Pusat Pengkajian Startegi dan Kebijakan (PPSK) yang diketuai Amien Rais di Yogya. Tahun 1989 ia diangkat menjadi wakil direktur program dan pengelola akedemik. Di tahun 1993 ia dipromosikan menjadi Direktur program MM UGM, sampai tahun 1999.
Ketika itu ia berhenti menjadi direktur MM UGM karena diangkat oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi menteri keuangan dan hanya berjalan selama kurang dari satu tahun, karena pada Agustus 2000 terjadi risafel kabinet dan ia termasuk menteri yang diganti.
Sejak tahun 1998 menjadi komisaris BPPN X, ketika Tanri Abeng menjabat Menteri BUMN. Selain pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan RI, sesuai dengan undang-undang, ia juga menjabat sebagai wakil ketua dewan komisaris Pertamina, serta menjadi anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuai Kwik Kian Gie.
Pendidikan Bisinis dan Politik
Selain akrab dan berpengalaman dengan dunia perguruan tinggi, Bambang juga banyak teribat dalam bidang konsultasi bisnis. Karena ia percaya dua hal yang penting dalam dunia ini yaitu politik dan bisnis. Dua hal ini, menurutnya, sangat menentukan jalannya kehidupan sebuah bangsa. Karena jika sudah ada kesadaran bahwa hal itu penting, tidak mungkin hanya pasif saja atau sebagai penonton, tetapi harus terlibat di dalamnya.
Itulah juga alasannya mengapa ia mendirikan sekolah bisnis yang sekarang ini hadir di Jakarta, karena tidak lepas kepeduliannya terhadap dunia bisnis di Indonesia dan memandang bisnis itu penting. Baginya profesi tersebut juga memberikan pendapatan tambahan bagi keluarga. Ia bersama isterinya juga aktif dalam berbagai usaha penelitian di berbagai pusat penelitian di Universitas Gadjah Mada.
Ia bisa dibilang seorang akademisi yang memiliki sentuhan dengan politik dan bisnis. Oleh karena itu ketika ia mengajar flavournya juga terasa lain. "Pendidikan ekonomi di Indonesia selama ini terlalu steril dan naif, seakan-akan berjalan dalam ruang vacum, terlepas dari setting politik, sosial, dan setting global. Padahal, setting tersebut memiliki pegaruh yang besar sekali. Ekonomi Indonesia rusak seperti sekarang ini, lebih banyak oleh karena settingnya yang rusak, bukan oleh karena pranata ekonomi yang rusak," paparnya.
Sebagai seorang ekonom, Bambang memiliki kepedulian terhadap permasalahan dunia politik dengan terus memantau perkembangan politik di Indonesia. Meskipun memiliki sentuhan dan pemikiran politik dan pernah ikut mendirikan partai politik, namun ia mengakui bahwa dirinya bukan seorang praktisi politik. Ia menjaga betul untuk terlibat dalam dunia politik, hanya sebatas sumbangsih pemikiran saja. Karena ia melihat adanya keterkaitan yang erat antara politik dan ekonomi. Sedangkan hukum dianggapnya sebagai produk dari proses politik. Semetara ekonomi diwadahi oleh kerangka kebersamaan politik. Jika kerangkanya saja sudah tidak benar maka kegiatan ekonominya juga tidak benar.
Di bidang sosial dan politik, ia menjadi Anggota MPR RI Fraksi Utusan Golongan, sejak Mei 2001-2004 mewakili ISEI. Ia juga menjabat Bendahara PP Muhammadiyah 2000-2005. ia juga ikut mendirikan ICMI tahun 1990 dan menjabat Ketua Bidang Ekonomi Sumberdaya 1990-1995 dan Anggota Dewan Pakar 1995-2000 di organisasi itu. Selain itu, ia juga ikut mendirikan dan menjadi anggota Majlis Amanat Rakyat (MAR), 1998, serta ikut mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) tahun 1998, dan menjabat sebagai Ketua Dewan Ekonomi pada November 1998-April 1999.
Hentikan Kerjasama dengan IMF
Isu ekonomi paling hangat saat ini adalah mengenai program penghentian kerja sama RI-IMF. Bambang menyambut gembira keputusan pemerintah untuk merealisasikan penghentian kerja sama dengan IMF. Namun, suatu strategi keluar dari ketergantungan pada IMF yang hanya berperspektif fiskal, moneter, dan psikologi pasar tanpa adanya skenario penataan ulang ekonomi makro Indonesia yang berwawasan nasionalisme dan kemandirian memiliki kans yang kecil untuk berhasil.
Program penghentian kerja sama itu sebenarnya telah lama dipertimbangkannya. Dalam diskusi yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Forum tanggal 26 Oktober 2002, Bambang memaparkan pemikirannya dalam sebuah makalah berjudul "Exit Plan dari Ketergantungan pada IMF dan Kemandirian Ekonomi".
Dalam makalah itu Bambang memaparkan pentingnya kemandirian ekonomi dengan kembali merekatkan kebersamaan di bidang ekonomi, mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang terlalu jauh, meningkatkan upah tenaga kerja, yang semua itu merupakan tema-tema strategis untuk dijalankan agar setelah lepas dari IMF Indonesia menjadi negara yang mampu mengelola diri sendiri.
Kemampuan mengelola ekonomi sendiri, dikemukakan Bambang, sebenarnya telah dimiliki Indonesia. Buktinya, cadangan devisa meningkat sekitar 3 milyar USD dari 18 milyar USD pada tahun 1999 menjadi 21 milyar USD pada tahun 2002. Sedangkan dana cadangan dari IMF sebesar 11 milyar USD tidak pernah terpakai. Fakta tersebut mendukung konklusi bahwa sebetulnya Indonesia dari perspektif moneter sudah siap keluar dari program IMF.
Bambang menyambut gembira keputusan pemerintah untuk merealisasikan penghentian kerja sama dengan IMF. Maka, mulai 2004 Indonesia akan kembali dapat menentukan program-program ekonominya sendiri tanpa adanya campur tangan lembaga asing.
Namun, suatu strategi keluar dari ketergantungan pada IMF yang hanya berperspektif fiskal, moneter, dan psikologi pasar tanpa adanya skenario penataan ulang ekonomi makro Indonesia yang berwawasan nasionalisme dan kemandirian memiliki kans yang kecil untuk berhasil. Mengapa demikian? Karena struktur makro ekonomi Indonesia yang lemah membuatnya senantiasa rentan untuk tergantung pada kekuatan ekonomi asing.
Maka, Bambang pun menawarkan pendekatan komprehensif terhadap strategi keluar yang mencakup:
(1) penataan ulang struktur ekonomi makro yang berwawasan nasionalisme ekonomi,
(2) strategi fiskal,
(3) strategi moneter, dan
(4) strategi pengendalian psikologi pasar. Yang dimaksud dengan nasionalisme ekonomi adalah kebersamaan, keberdayaan, dan kemandirian ekonomi.
Catatan istimewa diberikan Bambang bahwa dengan upah tenaga kerja yang rendah hal itu berarti golongan bawah mensubsidi golongan atas. Hal ini harus dihentikan dengan cara peningkatan upah minimum nasional. Dengan demikian, golongan bawah pun akhirnya dapat menikmati hidup layak dan keadilan ekonomi dapat terwujud.
Tentu saja menarik melihat sosok Bambang Sudibyo. Ia mengaitkan antara ekonomi dengan keadilan dan kebijakan. Perhatiannya ini tidak terlepas dari pemahamannya bahwa antara ekonomi dan politik itu saling keterkaitan dan merupakan bidang yang cukup penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pergulatannya dengan ekonomi makro Indonesia secara nyata terjadi ketika krisis moneter melanda Indonesia. Ia diberikan kepercayaan menjadi Menteri Keuangan. Selama 10 bulan ia menjabat sebagai Menteri Keuangan itu ia mengalami proses pembelajaran yang luar biasa dalam hidup. Ia mengaku bahwa belum pernah sepanjang hidupnya harus mempelajari begitu banyak hal. Secara mendadak terekspose pada berbagai macam hal dan berbagai macam risiko yang tidak pernah terbayangkan. "Betapa proses pembelajaran itu sangat luar biasa, di mana dengan waktu yang sangat singkat saya harus belajar begitu banyak hal." kenangnya.
Di mata Bambang, ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru adalah masa kemajuan dalam perkembangan kemampuan produksi. Orde Baru sangat menekankan bagaimana Indonesia dapat memperbesar kapasitas produksinya. Waktu itu dapat dilihat dengan jelas kecenderungannya.
Akan tetapi, permasalahannya kemudian adalah Orba menjadi relatif abai terhadap pendistribusian hasil produksi. Sehingga apa yang terjadi sekarang ini adalah pembagian hasil produksi sebagian besar dinikmati sekelompok kecil penduduk saja yang jumlahnya hanya sebesar 18 persen. Akibat dari pengabaian pembagian hasil produksi tersebut menyebabkan lebih dari 80 persen penduduk mempunyai kemampuan beli yang rendah dan terjadilah ketidakseimbangan antara kemampuan produksi dengan daya serap masyarakat untuk komsumsi.
Kenyataan ini meyakinkannya bahwa dengan kemampuan produksi yang besar tidak berarti akan menghasilkan daya serap konsumsi penduduk yang punya daya beli tinggi juga. Jumlah konsumen yang aktif, yang memiliki daya beli kuat jumlahnya hanya kurang dari 20 persen penduduk, bahkan menurut dugaannya hanya sekitar 14 persen. Kelompok masyarakat ini ditengarai sebagai kelas menengah dan elit. Itu adalah kelompok masyarakat yang memiliki daya serap yang besar.
Sementara yang sekitar 86 persen penduduk adalah mereka yang hidup dalam tingkat perekonomian yang subsistem. Tingkat perekonomian yang mampu memberikan rejeki yang sekadar cukup untuk bertahan hidup. "Inilah yang kemudian membuat ekonomi Indonesia setelah didera krisis, tetap relatif stabil," katanya seraya menambahkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia telah terbiasa untuk survival. "Hal itu terjadi oleh karena ekonomi kita sangat dipengaruhi oleh konsumsi." ujarnya.
Lebih dari 80 persen konsumsi hasil produksi berada pada tingkat subsistem. Konsumsi terhadap kebutuhan-kebutuhan yang mendasar untuk kehidupan, seperti pangan, kesehatan, papan yang tidak bisa ditawar, mau tidak mau, baik ada kerusuhan atau tidak ada kerusuhan, orang harus tetap konsumsi. produksi dan jasa itu yang hingga sekarang yang mempertahankan perekonomian Indonesia.
Di mana pun di dunia ini konsumsi adalah bagian terpenting dalam ekonomi, yang menurut Bambang, banyak orang yang telah menghiraukan hal tersebut. Orang sangat bias terhadap pentingnya investasi, "Memang investasi penting, karena investasi itu akan menciptaan lapangan kerja, tetapi investasi bukan kelanjutan dari konsumsi, itu tidak betul dan tidak akan menguntungkan juga." ujarnya. Tujuan berinvestasi adalah untuk menjawab daya konsumsi.
Jadi persoalan di Indonesia adalah bagaimana dapat mengembangkan daya serap konsumsi masyarakat terutama kepada kelompok yang lebih 80% itu yang sering disebut rakyat. Hal ini, menurutnya, telah diabaikan sehingga ekonomi Indonesia menjadi kurang lancar, karena ada ketidakseimbangan antara kemampuan kapasitas produksi dengan kemampuan daya serap konsumsi.
Dengan keadaan kesenjangan demikian, tentu terjadi jurang pemisah dan kecemburuan sosial, terjadi beban sosial dan keadaan yang tentu tidak nyaman, tidak ramah, karena adanya kecemburuan sosial masyarakat ekonomi bawah dengan masyarakat menengah ke atas.
Keadaan tersebut yang selalu menjadi kendala proses pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan adanya resiko, gangguan stabilitas ekonomi Indonesia menjadi besar. Jadi ada sumber ketidakstabilan, sebuah ketidakstabilan yang inheren dan berasal dari perekonomian itu sendiri – kebijakan ekonomi tidak adil.
Karena ekonomi yang tidak adil sehingga situasi sosial yang tidak damai penuh kecemburuan berkembang, dan itu menjadi iklim yang tidak bagus untuk keinginan investasi. Akhirnya orang menjadi jera untuk berinvestasi. Ketika orang berinvestasi yang diharapkan return yang dapat mengkompensasi tingkat resiko sosial yang sangat tinggi itu.
Jika keseimbangan antara kapasitas produksi dengan daya serap konsumsi dapat terjadi, sehingga hasil produksi disambut oleh konsumsi dan nilai ekonomi Indonesia dapat bergiling dengan lancar dengan sanksi sosial rendah, maka akan banyak orang yang ingin berinvesatasi, dan dengan konsumsi yang besar akan mengundang juga investasi.
Trilogi Orde Baru
Bambang setuju dengan triloginya orde baru, yaitu pertumbuhan, pemerataan dan kesatabilan. Permasalahan ekonomi Indonesia pada saat itu, pertumbuhan menjadi tidak maksimal oleh karena ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi, ketidakseimbangan itu disebabkan oleh karena tidak meratanya pembagian "kue" produksi, tidak adil yang mempengaruhi resiko sosial dan mengancam kestabilan nasional. Tiga hal tersebut sangat terkait
Sebenarnya yang menyebabkan tidak adilnya pembagian "kue" itu berasal dari tiga hal. Pertama, kecilnya gaji pegawai negeri. Pegawai negeri diberi harga yang sangat murah, termasuk di dalamnya tentara dan polisi. Pelayanan mereka diberi harga yang murah sekali, tidak dapat dibayangkan pegawai mensubsidi majikannya.
Kedua permasalahan upah buruh yang terlalu rendah, mereka juga mensubsidi majikannya. Dan yang ketiga murahnya hasil-hasil produksi tradisional. Seperti pertanian, sektor modern membeli produksi tradisional terlalu murah. Dalam hal ini sektor tradisional mensubsidi sektor tradisional, bahkan mensubsidi ekonomi asing.
Inilah tiga hal yang menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi tidak bergerak dengan cepat, tidak stabil dan tidak aktif. Jadi yang diperlukan adalah penyetelan ulang terhadap tiga harga ini. Tentu hal ini memerlukan waktu yang panjang.
Jika pada waktu masa Orde Baru pemerintah dapat membagikan "kue" secara adil, dengan pertumbuhan ekonomi 5-8 persen per tahun mestinya akan mengangkat pertumbuhan ekonomi 5-12 persen per tahun. Dan akan lebih stabil karena tidak adanya ledakan-ledakan sosial oleh karena lebih adil. Selain dari pada menyelesaikan tiga harga tadi, juga harus memikirkan bagaimana caranya mengurangi utang dalam negeri yang mengambil alokasi belanja APBN yang sangat besar. Itu terutama terjadi oleh karena usaha rekap bank.
Subsidi
Kemudian persoalan subsidi. Sekarang ini banyak sekali subsidi yang bertentangan dengan Pasal 34 UUD 45. Di sana tidak dikatakan konsumen listrik dan BBM di subsidi oleh negara, tetapi yang disubsidi adalah fakir miskin dan anak-anak telantar. Kalau yang disubsidi adalah pengguna BBM maka yang menerima subsidi adalah mereka yang menggunakan BBM. Siapa sih pengguna BBM? Yaitu para kapitalis yang memiliki pabrik-pabrik besar itu. Mereka itulah yang menerima subsidi, mereka yang memiliki rumah yang besar-besar dengan penggunaan listrik yang besar, merekalah yang paling banyak menerima subsidi. Dengan itu APBN dibebaskan dari subsidi yang tidak adil itu, kemudian dipakai untuk memperbaiki gaji pegawai negeri.
Kemudian bersamaan dengan itu bisa secara bertahap dilakukan proteksi tarif bea masuk terhadap produk-produk sektor tradisional terutama pertanian. Usaha ini tidak membutuhkan dana APBN, yang diperlukan adalah tanda tangan menteri keuangan untuk menaikan bea masuk. Dan tentunya akan berhadapan dengan WTO dan sebagainya. Pro-coment atau advokator utama lembaga WTO adalah negara-negara maju seperti AS, Eropa Barat, Jepang, Australia. Negara-negara ini sampai sekarang tidak mematuhi ketentuan dari WTO. Di mana mereka tidak patuh di produk-produk pertanian.
Jadi untuk apa kita patuh, karena mereka sendiri yang ada sebagai advokator utama WTO, mereka sendiri sangat reluctant untuk patuh terhadap regulasi WTO terutama bidang pertanian. Sehingga menjadi lucu, jika gula dan beras Indonesia hanya diproteksi 25% tarif sedangkan Jepang memproteksi berasnya dengan 400%, Amerika masih memproteksi hasil pertaniannya dengan 184%.
"Lalu kenapa kita tidak berbuat seperti mereka?" tanyanya. Sehingga yang nanti laku di pasar bukan lagi jeruk atau apel dari luar negeri tetapi dari dalam negeri sendiri. Jika harga petanian bagus para petani juga bersemangat menanam. Dan sekarang tinggal bagaimana kebijakan pemerintah dalam menanggapi ini, karena politik yang betul akan membuahkan kebijakan yang betul. Kebijakan yang betul adalah kebijakan yang memaksimalkan kepentingan umum, kebijakan yang berdasarkan keadilan. Dan keadilan yang paling menjadi konsern orang banyak adalah keadilan ekonomi. Karena apa? Itu menyangkut kepentingan kehidupan mereka sehari-hari.
Setelah gaji pegawai negeri naik dan meningkatnya tarif bea masuk, akan mempengaruhi tingkat agrikat demand. Permintaan agrikat itu akan naik, kemudian revenue atau pendapatan pengusaha naik, sehingga kemudian ada peluangan bagi mereka merestruktur biaya, dengan cara menaikan upah buruh. Jadi proposal kenaikan upah buruh seperti itu tidak samasekali membebani pengusaha. Dan itu akan kembali juga kepada mereka, karena buruh itu adalah juga konsumen terhadap produksi mereka. Jadi berputar sesungguhnya ekonomi itu. Yang menjadi permasalahnya adalah bagaimana roda perputaran menjadi cepat, lancar dan adil.
Ia melihat kebijakan tim ekonomi kita memang plot sejak zaman orde baru itu keliru, ada persepsi yang mengangap komsumsi tidak penting, padahal tulang punggung pergerakan ekonomi itu dikonsumsi, dan investasi itu berada pada tingkat kedua. Investasi akan bergulir dan menjanjikan jika ada konsumsi kuat, yang akan memberikan iklim propektif return yang tinggi untuk investasi dan ada keadilan ekonomi sehingga investasi tidak terancam oleh ledakan-ledakan sosial.
Sekarang banyak orang bicara investasi-investasi, jadi ternyata ada kekeliruan paradigma. Bahwa seolah-olah investasi lebih penting dari konsumsi. Ia tidak percaya itu! "Consumption is primary, investment is secondry". Yang paling penting adalah bagaimana memperkuat daya beli masyarakat. Dan jalan untuk meningkatkan daya beli itu adalah pemertaan hasil ekonomi (pembagian "kue" yang adil).
Ekonomi Domestik
Kemudian ada sebuah kekeliruan lain yang bahkan sudah melembaga dan itu warisan Orba, yaitu pandangan bahwa mencari rejeki dari negeri orang lebih penting dari pada domestik, seolah-olah rejeki eksport lebih manis dibanding rejeki dalam negeri. Menurutnya itu keliru, itu akan menciptakan Indonesia yang tergantung kepada ekonomi asing. Mestinya adalah bagaimana menggulirkan ekonomi domestik, memperbesar ekonomi domestik dan mempercepat putaran ekonomi domestik, sehingga akan tergantung kepada pertumbuhan dan kestabilan ekonomi domestik sendiri.
Sementara penghasilan dari ekspor itu hanya sebuah pelengkap. Bukan berarti menolak ekspor atau tidak melihat ekspor itu tidak penting, tetapi jangan dianggap bahwa dengan demikian sebuah kebijakan yang memperbesar ekspor dengan cara mengorbankan upah buruh. Sebab upah buruh adalah bagian dari konsumsi domestik. Ketika upah buruh ini ditekan berarti memperkecil daya konsumsi domestik, kemudian memperkecil ekonomi domestik. Memang rejeki yang berasal dari luar menjadi lebih besar, tapi rejeki yang dari dalam lebih kecil. "Ketika Indonesia menggantungkan diri kepada ekonomi asing, kita menjadi ekonomi yang rentan." serunya.
Seharusnya Indonesia memperkuat ekonomi domestik. Jadikan ekonomi Indonesia menjadi magnet ekonomi yang besar dan berputar cepat, sebuah magnet ekonomi yang bermasa besar dan berputar cepat. Karena magnet yang besar daya tariknya juga besar, sehingga orang ingin sekali berinvestasi di Indonesia. Lebih baik investasi asing masuk ke sini untuk memperkuat ekonomi domestik, daripada kita investasi di luar negeri untuk merebut ekspor.
Jadi dengan cara seperti itu kita jadikan ekonomi Indonesia sebuah magnet yang begerak cepat dan besar, sehingga ketika bertransaksi dengan ekonomi asing itu term-nya adalah cenderung menguntungkan kita. Tetapi jika kita dependent terhadap ekonomi asing, term-nya akan berbeda.
Seperti contohnya, peristiwa 11 September di New York, tragedi kemanusiaan yang merenggut ribuan nyawa manusia, sehingga New York menjadi sebuah tempat yang menakutkan dan mengerikan, tetapi tidak ada penurunan rating lembaga-lembaga keuangan di New York, yang terjadi adalah penurunan rating di Indonesia, karena kita magnet ekonomi yang lemah, yang jika terjadi apa-apa ditentukan oleh ekonomi asing.
Mengapa kita bisa berhubungan dengan IMF dan kita sangat tergantung dengan IMF, Itu sebabnya juga karena kita telah abai. Kita mengabaikan pentingnya ekonomi domestik, sehingga kita terjebak. Sekarang bagaimana kita merebut kemandirian kita kembali. Menurutnya, kita bisa saja keluar dari program IMF. Untuk keluar dari IMF berbeda dengan keluar dari program IMF, karena kita anggota IMF. Untuk dapat keluar dari program IMF itu ada dua pertimbangan penting yaitu apakah kita siap dari sisi moneter dan sisi fiskal. Dari sisi fiskal kuncinya adalah besarnya defisit, sepanjang defisit kita besar dan kita membiayai defisit itu dengan utang luar negeri maka kita masih butuh IMF. Kita pergi ke CGI dan kita butuh dukungan atau endorsement dari IMF.
UU Propenas menargetkan defisit sudah nol pada tahun 2004, ketika ia menjabat sebagai menteri keuangan telah mencanangkan kebijakan yang mendukung perkembangan sisi fiskal, yaitu defisit sudah mencapai nol, tax review sudah harus 16%, janjinya kepada DPR waktu itu. Sehingga itu semua diabadikan dalam UU Propenas, dan menjadi amanah undang-undang. Jadi tidak ada alasan jika tahun depan kita masih butuh eksternal financing yang di endorse oleh IMF.
Menurut undang-undang defisit kita sudah harus nol dan utang luar negeri sudah harus turun. Dari sisi moneter yang perlu kita perhatikan adalah cadangan defisa. Cadangan netto defisa kita sekarang US$ 24 miliar, ketika ia menjadi menteri itu masih sekitar US$18 miliar, jadi selama 3 tahun cadangan defisa netto kita sudah menebal US$ 6 miliar. Kalau ditambah dengan dana pinjaman dari IMF, uang pinjaman ini hanya diparkir di Bank Indonesia sebagai tambahan bantalan devisa yang sering disebut second line of defend, itu besarnya sekitar US$ 9 miliar sehingga cadangan devisa bruto kita itu di BI ada US$ 33 miliar.
Kalau kita keluar dari program IMF kita minimal harus mengembalikan sebesar US$ 3,5 miliar. Kalau kita kembalikan cadangan devisa netto kita tetap tidak berubah tetap 24 miliar sedangkan second line of defend-nya akan berkurang menjadi US$ 6.5 miliar ini berarti cadangan devisa bruto kita menjadi US$ 30,5 miliar. Jika dibandingakan pada tahun 2000 ketika ia menjadi menteri dengan cadangan devisa netto sebesar US$ 18 miliar dan cadangan devisa bruto sebesar US$ 27 miliar, jadi sebetulnya baik netto maupun bruto kita dalam dua tahun ini jauh lebih baik. Sesungguhnya tidak masalah untuk kita keluar dari program IMF.
Sekarang yang menjadi persoalan apakah dengan keluarnya kita dari program IMF akan timbul masalah atau gejolak di pasar, dapat dipastikan ada terjadi. Akan ada orang-orang yang tidak percaya akan kemampuan ekonomi Indonesia untuk berdiri. Tetapi ia yakin itu hanya peristiwa yang temporer yang bisa kita lalui bersama, Karena apa? Kita sudah berkali-kali mengatasi krisis ini, dan daya tahan kita terhadap guncangan itu cukup besar. Itu bisa kita saksikan ketika krisis politik tahun 1998, bagaimana krisis politik itu mem-finalty perekonomian Indonesia, dari pertumbuhan perekonomian pada tahun 1997 sebesar 9% kemudian turun menjadi 6% dan tahun 1998 jatuh di minus 13%, tetapi pada tahun 1999 langsung mulai menjadi 0,30%. Rebound atau daya lentur ekonomi Indonesia itu luar biasa. Jadi ia percaya kita bisa keluar dari program IMF. Walaupun akan ada gejolak, namun akan dapat teratasi.
Ia tidak percaya bahwa ada suatu bangsa lain benar-benar secara tulus ingin membantu kita, semua mereka yang datang ke sini katanya membatu lewat CGI, IMF atau World Bank dan sebagainya itu, mereka mau memenuhi kepentingan mereka sendiri di Indonesia. Jadi yang bisa menolong diri kita adalah diri kita sendiri. Sesungguhnya permasalahannya sangat mendasar sekali berhubungan dengan sikap hidup dan sikap bernegara, dan itulah yang disebut Nasionalisme Ekonomi. Bukan berarti kita tidak mau berinteraksi dengan ekonomi asing, bukan, tetapi adalah penting sekali membangun kemandirian, dan kita menumpukan kestabilan dan pertumbuhan ekonomi itu pada diri sendiri bukan kepada pihak asing.
Tiga Lapis Risiko
Sekarang ini ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang dibungkus oleh tiga lapis resiko yakni risiko sosial, risiko polkam dan risiko global. Lapisan pertama risiko sosial, lapisan sosial itu ada di dalam tubuh ekonomi Indonesia sendiri. Sumber risiko itu adalah 3 harga tadi, inilah yang menciptakan ketidakadilan ekonomi di dalam tubuh ekonomi Indonesia sendiri, dan kita didera dan terbebani oleh resiko itu sejak lama, sejak masa Orba menunjukan keberhasilannya, pada saat itu juga mereka menciptakan resiko sosial yang semakin berat itu yang disebut dengan introphy sosial sesuatu yang menggrogoti diri sendiri.
Sejak tahun 1998 dimana Orba turun, perekonomian Indonesia dibungkus oleh lapisan risiko kedua, yaitu risiko polkam yang sangat tinggi. Penyebabnya adalah transisi kerangka kebersamaan politik yang tidak kunjung usai. Kerangka kebersamaan politik kita dulu diberi nama kerangka Orba, dan kita semua sudah tidak menyukai kerangka politik yang tidak adil itu. Kemudian kita ingin menggantinya, kita sudah berhasil membongkarnya tetapi kita sampai saat ini belum bisa menggantikannya dengan orde yang betul-betul penganti dari orde baru yang kita sebut reformasi dan kita sedang berada pada masa transisi yang sangat labil.
Selama masa transisi politik ini belum selesai, selama itu pula ekonomi Indonesia akan terbebani oleh risiko polkam. Sepanjang risiko polkam itu menakuti-nakuti pelaku ekonomi, yang kemudian mereka akan menahan konsumsi, mereka menahan investasi. Padahal pergerakan ekonomi dimulai konsumsi dan investasi, dan mereka tahan dan kurangi sehingga memperlambat laju ekonomi, itu sebabnya ekonomi kita hanya tumbuh 3,5%
Lapisan ketiga dari lapisan resiko perekonomian Indonesia adalah dimulai sejak September 2001 yaitu resiko global atau resiko geo-politik dan ekonomi global, terutama hal ini menonjol sejak peristiwa 11 September, di mana resiko global ini terasa sekali, seperti kasus bom Bali, berbeda dengan bom-bom yang lain, bom yang mempuyai nuansa internasional.