Kamis, 13 November 2014

Biografi Manuel Kaisiepo

Manuel Kaisiepo (lahir di Biak, Papua, 25 Desember 1953; umur 60 tahun) adalah Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia pada Kabinet Gotong Royong. Ia merupakan politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Manuel merupakan anggota komisi Energi Sumber Daya Mineral, Riset, Teknologi, Lingkungan Hidup (Komisi VII). Sebelum meniti karir sebagai menteri, Manuel Kaisiepo merupakan seorang editor Jurnal Prisma (LP3ES) di Jakarta.

Ia juga pernah berkarir sebagai wartawan Kompas, Jakarta pada tahun 1984-2000.

Sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, ia dikenal sangat berusaha memperjuangkan keadilan bagi rakyat di kawasan Indonesia bagian Timur, khususnya Papua.

Sebagai putra daerah asli Papua, ia memiliki rasa kepedulian yang tinggi untuk meningkatkan derajat hidup masyarakat Papua di segala aspek kehidupan. Salah satu permasalahan yang menjadi fokus perjuangan Manuel Kaisiepo adalah permasalahan perang suku yang masih sering terjadi di Papua pada saat itu. Ia menilai bahwa pecahnya perang suku di Papua merupakan akibat dari kekacauan logika yang terjadi di antara anggota masyarakat.

Manuel Kaisiepo sempat menulis buku berjudul "Komitmen Manuel Kaisiepo: bagi kawasan timur Indonesia dalam kebijakan SDA dan SDM Seri pembangunan kawasan timur Indonesia" dan diterbitkan oleh Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, Republik Indonesia, 2004.

Pada tahun 2009, ia pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan tahun anggaran 2003. Kasus korupsi ini diduga menimbulkan kerugian negara yang mencapai Rp 71 miliar.

Pada tahun 2011, Manuel Kaisiepo turut menanggapi kegagalan terlaksananya Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) . Menurut dia, saat Undang-Undang Otsus dirancang, semua berharap sangat besar karena isinya sangat baik dan berupa konsensus politik yang akan mengakhiri konflik-konflik di masa lampau pada waktu itu.

Riset dan analisa oleh Pilar Asa Susila

PENDIDIKAN

Sarjana Hubungan Internasional FISIP UGM (1973 - 1975)
Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta. (1977 - 1979)
Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara (1984)
Institute of Management, Jakarta S2, MBA, Honolulu (2000)

KARIR

Editor Jurnal Prisma (LP3ES), Jakarta
Wartawan Kompas Jakarta 1984 - 2000
2000-2001 Menteri Muda Urusan Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Kabinet Persatuan Nasional
2001-2004 Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Kabinet Gotong Royong
Anggota DPR 2009 - 2014

Rabu, 12 November 2014

Biografi Anak Agung Gde Agung

Putra sulung dari Dr.Ida Anak Agung Gde Agung, seorang Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri pada masa pemerintahan Presiden pertama RI Ir.Soekarno.

Karyanya yang bernama “Tri Hita Karana” yang dia jelaskan dalam disertasinya ini dinilai oleh para professor Universitas Leiden, Belanda, bersifat menyeluruh dan dapat diterapkan di berbagai kebudayaan di dunia yang mengalami erosi. Penelitian yang dia kembangkan dapat mengidentifikasi dengan pasti masalah dan bagaimana solusinya.

Disertasinya ini meraih predikat summa cum laude, sekaligus pioneering, karena Anak Agung Gde Agung dianggap menciptakan metode baru dalam penelitian antropologi. Metodologi yang kuantitatif ini dianggap memberi terobosan, yaitu sebagai cara terbaik menganalisis status kebudayaan, mengidentifikasi dengan pasti sebab-sebab erosi, serta menganalisis dampak dan solusinya dengan tepat dan pasti. Upacara penyerahan gelar seusai pengujian di depan 10 mahaguru itu menjadi istimewa karena Rektor Universitas Leiden Prof DD Breimer membacakan surat Ratu Beatrix yang dibawa utusan kerajaan untuk Anak Agung Gde Agung.

PENDIDIKAN

Universitas Leiden Belanda program doktor di bidang konservasi biokultural dan pengembangan masyarakat

KARIR

Menteri Negara Masalah Kemasyarakatan
Bupati Gianyar, Bali
Anggota kommisi II DPRD Provinsi Bali fraksi PDI Perjuangan tahun 2009

PENGHARGAAN

Namanya berada di urutan nomor sembilan, setelah nama dari delapan tokoh terkemuka seluruh dunia, yang menjadi pelopor di bidangnya masing-masing, seperti Winston Churchill, Nelson Mandela, dan Albert Einstein.

Rabu, 20 Agustus 2014

Biografi Anwar Supriyadi

Anwar Supriyadi (lahir di Semarang, 23 Desember 1948; umur 65 tahun) adalah mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia. Dia juga pernah menjabat sebagai Direktur Perumka (1991-1995) dan Dirjen Bea Cukai (2006 - 2013).

Pendidikan

SDN Jomblang Timur I Semarang
SMP II Semarang
SMA I Semarang
Sarjana Ekonomi Perusahaan FE Universitas Diponegoro (1972)
Pascasarjana Transportasi Institut Teknologi Bandung (1983)

Riwayat Pekerjaan

2006-2013 Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan
2003-2006 Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN)
2001 Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara
1998-2001 Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan
1995-1998 Direktur Jenderal PPK Dep Kop UKM
1991-1995 Dirut Perumka

Biografi Ryaas Rasyid

Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 17 Desember 1949; umur 64 tahun) adalah seorang politikus berkebangsaan Indonesia yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden sejak 25 Januari 2010. Sebelumnya Ryaas Rasyid dipercaya untuk menjabat sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Persatuan Nasional. Setelah menyelesaikan sekolahnya di SMAN Gowa, Ryaas memilih untuk melanjutkan studinya Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Ujung Pandang.

Pada tahun 1972, Ryaas mengawali karirnya di pemerintahan sebagai staf umum biro kepegawaian Kota Makasar, lalu berpindah-pindah bagian mulai dari menjadi staf administrasi bagian pemerintahan, staf tata usaha, sampai akhirnya dia diminta menjadi mantri polisi (sekarang disebut wakil camat) Kecamatan Mariso. Ryaas diangkat sebagai Lurah Melayu, Kecamatan Wajo, Makassar dan disahkan pada bulan Agustus 1972. Empat tahun lamanya Ryaas bertugas sebagai lurah. Dalam masa kepemimpinannya, Ryaas berhasil menjadikan Kelurahan Melayu menjadi kelurahan terbaik di Makassar. Berbagai prestasi diraih. Juara kebersihan, juara pemasukan pajak, juara pembangunan lingkungan menjadi bagian dari prestasi Lurah Ryaas Rasyid.

Setelah purna tugas sebagai lurah, Ryaas memutuskan melanjutkan sekolah di IIP Jakarta. Ketekunan dan keuletannya mengantarkan ayah satu orang putera ini mendapat predikat lulusan terbaik di angkatan 1977. Setelah itu, Ryaas diminta untuk menjadi tenaga pengajar di almamaternya. Meski sangat tertarik dengan tawaran itu, Ryaas menolaknya karena dia harus kembali untuk membaktikan diri bagi daerahnya.

Ryaas lalu kembali ke Makassar dan memangku jabatan sebagai wakil kepala sub dinas pajak. Di jabatan ini ia kembali menunjukkan kemampuannya sebagai seorang pemimpin yang handal. Dengan pendekatan personal yang baik, kinerja seluruh jajarannya meningkat. Bonus dan insentif tambahan diberikan kepada staf yang menjalankan tugas dengan baik. Hasilnya pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi daerah meningkat sekitar 200% dari masa sebelumnya.

Prestasi itu membuat Ryaas diangkat sebagai Kepala Bagian Pemerintahan Kota Makasar. Pada pertengahan tahun 1979, Ryaas memutuskan kembali ke Jakarta dan menjadi dosen di IIP. Tak hanya menjadi seorang dosen, Ryaas juga menjadi konsultan politik pemerintah, menjadi peneliti sekaligus menjadi staf khusus Irjen Depdagri dilakoninya. Saat merasa sudah cukup aman secara ekonomi, Ryaas memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Dia kemudian menjatuhkan pilihannya di Northern Illinois University Amerika Serikat. Ryaas berhasil menyelesaikan kuliah master beserta tesis dalam waktu 20 bulan dengan gelar MA Politcal Science. Ryaas kemudian kembali ke Jakarta dan menjadi Direktur Laboratorium Pemerintahan IIP. Pada bulan Desember 1989, Ryaas kembali lagi ke AS untuk mengambil program doktoralnya di University of Hawaii. Setelah selesai pada Juli 1994 ia kembali ke Jakarta. Dan, pada bulan September 1994, Ryaas dipercaya untuk menduduki kursi rektor IIP.

Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menunjuk Ryaas untuk menjadi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada masa Kabinet Persatuan Nasional. Jabatan ini sekaligus menjadi langkah progresif Ryaas di dunia politik, Pada tahun 2002, dia bersama Andi Mallarangeng mendirikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK). Selain itu, Ryaas juga aktif di organisasi kemasyarakatan dimana Ryaas pernah ditunjuk menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PII) dari tahun 2005 hingga tahun 2008.


PENDIDIKAN

SMAN Gowa
Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Ujung Pandang
Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta
M.A. Political Science USA 1988
Ph.D Political Science USA 1994 Universitas Hawaii, Amerika Serikat.

KARIR

Rektor IIP 1995 - 1998
Anggota MPR RI 1997 - 2002
Dirjend PUOD 1998 - 1999
Menteri Negara OTDA 1999 - 2000
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Persatuan Nasional 2000 - 2001
Anggota Dewan Pertmbangan Presiden Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi 2010 - sekarang

PENGHARGAAN

Satya Lencana Karya Satya 25 Tahun 1998
Bintang Mahaputra Utama 1998


Biografi Freddy Numberi

Laksamana Madya TNI (Purn.) Freddy Numberi (lahir di Serui, Yapen Waropen, Papua, 15 Oktober 1947; umur 66 tahun)atau yang biasa disapa dengan Freddy Numberi, adalah salah seorang politikus berkebangsaan Indonesia yang sebelumnya lebih dulu dikenal sebagai seorang tokoh militer asal bagian paling timur Indonesia, Papua. Selama berkarir dalam bidang kemiliteran, Numberi dipercaya menjabat dalam berbagai posisi penting dalam tubuh Angkatan Laut Indonesia. Selepas masa baktinya dalam jajaran TNI-AL, pria ini ditarik ke dalam dunia politik dengan mengampu jabatan sebagai orang nomor satu (Gubernur) di tanah kelahirannya sendiri, Papua, pada 1998.

Posisinya sebagai Gubernur propinsi paling timur Indonesia tersebut membawa Numberi melangkah semakin jauh dan yakin ke kancah politik Indonesia. Kiprah dan sepak terjangnya dalam dunia pemerintahan juga semakin diakui dengan dilantiknya pria asli Papua ini sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada masa Kabinet Persatuan Nasional periode 1999-2001, di bawah pimpinan (almarhum) Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada masa kepemimpinan Presiden RI berikutnya, Megawati Soekarnoputri, pria kelahiran Yapen Waropen pada 1947 ini diangkat oleh anak dari Presiden pertama RI tersebut sebagai Duta Besar Indonesia untuk negara Italia dan Malta. Posisi duta besar tersebut kemudian dilepas dan Numberi kembali ditarik dalam jajaran kementerian kabinet pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memberinya amanat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia (2004).

Pada masa pemerintahan Presiden SBY berikutnya, Freddy Numberi kembali diberi kepercayaan untuk menduduki kursi kementerian dalam kabinet, hanya kali ini  sebagai Menteri Perhubungan Indonesia. Pada sekitar 2011 lalu, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan reshuffle kabinet, jabatan kementerian tersebut dilepas dari Numberi dan diberikan pada penggantinya, E.E. Mangindaan.

Selama menjalani karir politiknya, Numberi tercatat sempat tersandung beberapa kasus. Di antara yang sempat mencuat adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan konflik rumah tangga lain pada 2012 lalu. Dalam kasus ini, Numberi harus berhadapan dengan istrinya sendiri, Annie Numberi, yang melaporkan purnawirawan TNI-AL ini ke Polda Metro Jaya dengan tudingan KDRT yang telah berlangsung sejak 2010.


PENDIDIKAN

Pendidikan Khusus AAL di Surabaya (1969-1971).
Akademi Angkatan Laut 1968.
SMA (1967) di Jayapura.

KARIR

Menteri Perhubungan RI, 22 Oktober-2009-19 Oktober 2011.
Menteri Kelautan dan Perikanan (2004–2009).
Duta Besar RI untuk Italia dan Malta.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 29 Oktober 1999–29 Agustus 2000.
Gubernur Irian Jaya, April 1998-2001.
Komandan Pangkalan Utama TNI AL V Irian Jaya-Maluku.
Komandan Satuan Tugas Proyek Pengadaan Kapal Parchim, Frosch, dan Kondor (1995-1996).
Komandan KRI Sembilan di kawasan timur.
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat



Rabu, 08 Januari 2014

Biografi Hasballah M. Saad

Dr. Hasballah M. Saad (lahir di Pidie, Aceh, 14 Juli 1948 – meninggal di Bekasi, 23 Agustus 2011 pada umur 63 tahun) adalah seorang politikus Indonesia dan dikenal sebagai Menteri Negara Urusan Hak Asasi Manusia dalam Kabinet Persatuan Nasional era Gus Dur.

Hasballah M. Saad pernah aktif dalam politik nasional lewat Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional. Mantan Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Syiah Kuala tahun 1978 ini juga aktif dalam perjuangan HAM, antara lain dengan mendirikan Komite HAM Aceh.

Semasa muda, ia yang merupakan lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah dan sempat aktif mengajar di almamaternya ini giat membangun lembaga pendidikan. Beberapa lembaga pendidikan tersebut adalah Pesantren Al-Furqon di Sigli, Universitas Jabal Ghafur ( http://www.unigha.ac.id) di Pidie, Yayasan Pendidikan Putra Harapan Bangsa di Jakarta, dan Yayasan Modal Bangsa di Jakarta. Suami Darmawati dan ayah dari tiga anak ini juga sempat menjadi anggota Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia tahun 1995.

Ia diangkat sebagai Menteri Negara Urusan HAM periode tahun 1999-2000 dalam Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Abdurrahman Wahid ketika masih menjabat sebagai anggota DPR tahun 1999.

Hasballah meninggal dunia pada tanggal 23 Agustus 2011 di Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi Barat, Bekasi, Jawa Barat, akibat serangan jantung Almarhum dimakamkan di Gampong Lameu, Kota Bakti, Pidie, Aceh.


Minggu, 05 Januari 2014

Biografi Khofifah Indar Parawansa


Dra. Khofifah Indar Parawansa (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 19 Mei 1965; umur 48 tahun) adalah Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada Kabinet Persatuan Nasional. Ia meraih gelar sarjana pada tahun 1990 dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya.

Pendidikan

-SD Taquma (1972-1978)
-SMP Khodijah – Surabaya (1978-1981)
-SMA Khodijah – Surabaya (1981-1984)
-Strata I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya (1984-1991)
-Strata I Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah, Surabaya (1984-1989)
-Strata II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta (1993-1997)

Karier

-Pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI (1992-1997)
-Pimpinan Komisi VIII DPR RI (1995-1997)
-Anggota Komisi II DPR RI (1997-1998)
-Wakil Ketua DPR RI (1999)
-Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI (1999)
-Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001)
-Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1999-2001)
-Ketua Komisi VII DPR RI (2004-2006)
-Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI (2004- 2006)
-Anggota Komisi VII DPR RI (2006)

Forum Internasional

-Studi banding pada penyiapan ratifikasi “Convention Against Illicit Trafic Psychotropic and Narcotic Drug” di Austria dan Belanda, yang diselenggarakan Internati onal Narcotic Control Board, Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Wina, Austria, 1996.

-Studi banding Antar-Parlemen di Mongolia, 1994

-Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam “Women 2000, Gender Equality, Development and Peace for the Conventi on on The Elliminati on of All Forms of Discriminati on Against Women” di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, 28 Febuari 2000.

-Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam “Women 2000, Gender Equality, Development and Peace for the Twenty First Country”: Beijing +5) Sidang Khusus ke-23 Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa, di New York, Amerika Serikat, 5-9 Juni 2000.

-Ketua Delegasi Republik Indonesia pada pertemuan The Exchanges and Cooperati on in the Field of Family Planing Between China and Indonesia, 9-11 April 2001.

-Ketua Delegasi Republik Indonesia pada Pertemuan Konsultasi Tingkat Menteri Asia-Pasifik di Beijing, China, pada 14-16 Mei 2001.

-Menjadi narasumber pada Conference G ender Equity and Development in Indonesia yang diselenggarakan The Australian Nasional University, di Canberra, Australia, pada 21-22 September 2001.

-Menjadi narasumber pada Conference On Women In Islam As Role Model di Berlin, Jerman, pada 24-26 Mei 2004.

-Menjadi peserta World Council of Churches di Brazil, 15-21 Februari 2006.

-Menjadi narasumber utama pada Commission on the Advancement of Women, Commission on the Status of Women, di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, 1-2 Maret 2006.

-Menjadi narasumber pada International Conference on Parliaments, Crisis Preventi on and Recovery, hosted by UNDP and the Government of Representatives of Belgium, 19-21 April 2006.

-Menjadi narasumber pada Internati onal Conference of Islamic Scholars di Jakarta, Indonesia, Mei 2006.

-Menjadi narasumber di Muktamar ke-5 Pertumbuhan- Pertumbuhan Perempuan Islam Dunia Islam Kontemporari di Shah Alam, Selanggor, Darul Ehsan, Malaysia, pada 13-15 Agustus 2006.

Pidato Monumental Anti Orba

Nama Khofifah mulai populer di panggung nasional setelah membacakan pidato sikap Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dalam SU MPR 1998. Pidato Khofifah itu sangat monumental karena merupakan pidato kritis pertama terhadap Orde Baru di ajang resmi selevel Sidang Umum MPR.

Khofifah berbicara kritis. Dia mengkritik Pemilu 1997 yang penuh kecurangan. Perempuan cerdas itu melontarkan ide-ide demokratisasi. Dia juga berbicara lantang seperti para mahasiswa yang marak demonstrasi di jalan. Mungkin Khofifah masih terbawa oleh suasana sebagai mahasiswa. Maklum, saat itu umurnya masih muda, 33 tahun. Pidato Khofifah memang sangat monumental. Para anggota MPR yang didominasi Fraksi Karya Pembangunan (Golkar), Fraksi ABRI, dan Fraksi Utusan Golongan terperanjat dengan pidato yang menohok jantung Orde Baru itu.

Yang paling terkejut adalah Fraksi ABRI. Maklum, yang dibacakan Khofifah sangat berbeda dengan naskah yang diterima oleh Cilangkap (Mabes ABRI) dari FPP. Di era Orba semua pidato di depan institusi resmi atau di depan publik terlebih dahulu diserahkan ke Cilangkap . Mengapa naskah pidato yang dibacakan Khofifah berbeda dengan yang diserahkan ke Cilangkap? Ternyata ada ceritanya. Setelah ditunjuk menjadi juru bicara FPP, perempuan kelahiran Surabaya itu menerima naskah pidato resmi. Salinan pidato itu juga diserahkan ke Cilangkap.

Khofifah mempunyai kebiasaan selalu membaca berulang-ulang sebelum tampil di muka umum. Bahkan, di rumahnya pun dia membuat simulasi. Isi pidatonya memang memuji-muji pemerintah Soeharto. "Bahkan, pembantu saya berkomentar, kok hanya memuji," cerita Khofifah.

Sebelum dibacakan di depan MPR, naskah itu juga dibaca secara resmi dalam forum internal anggota FPP. Di depan koleganya itu, suara Khofifah tak keluar. Sejumlah anggota FPP langsung mengusulkan agar Khofifah diganti. Namun, beberapa tokoh senior FPP saat itu, seperti Yusuf Syakir dan Hamzah Haz, tetap mempertahankan Khofifah. Lantas, Khofifah diajak bertemu dengan Ismael Hasan Metareum (ketua umum PPP) waktu itu.

Khofifah ditanya apa yang menyebabkan suaranya tak keluar. "Isi naskah tak sesuai dengan hati nurani saya," jawab Khofifah. Dia tidak sreg dengan pidato yang memuji Orba itu. Lantas, para pemimpin PPP memutuskan merombak naskah pidato tersebut biar suara Khofifah keluar. Urusan merombaknya pun diserahkan kepada yang membaca.

"Saya langsung merombaknya. Saya tulis sesuai dengan hati nurani. Sekitar 90 persen isi naskah yang saya ganti," cerita Khofifah. Saat naik ke podium SU MPR, Khofifah begitu percaya diri. Dia berbicara dengan lantang. Mengkritisi gaya pemerintah yang mengekang demokratisasi. Mengungkit pemilu yang berada dalam kekangan pemerintah.

Para penonton TV di rumah yang saat itu sudah dijangkiti sikap apatis terhadap Orba pun bertepuk tangan. TV diperbolehkan siaran langsung karena salinan pidato Khofifah sudah diserahkan ke Cilangkap. Tapi, kenyataannya, pidato yang dibacakan perempuan lulusan Unair itu berbeda dengan yang berada di tangan para jenderal.

Turun dari panggung pidato, Khofifah disambut senyum kecut oleh para petinggi F-KP dan F-ABRI yang duduk di depan. Bahkan, sejumlah jenderal langsung menegurnya karena mengungkit-ungkit pemilu yang telah berlalu.

Khofifah pulang ke Hotel Sahid, tempat markas FPP. Namun, suami tercintanya, Indar Parawansa, meminta Khofifah beristirahat di rumah. Dia khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Pidato Khofifah itu menjadi catatan sejarah. Itu pidato formal di forum formal yang secara terbuka mengkritik rezim Soeharto yang tengah berkuasa. Pidato yang mengangkat Khofifah menjadi politikus yang disegani di tanah air.

Bergabung dengan PKB

Perubahan peta politik pasca lengsernya orde baru membuat Khofifah keluar dari PPP. Merasa kiprahnya di dunia politik dihantarkan oleh NU, Khofifah hijrah ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang didirikan oleh tokoh-tokoh NU pada awal era reformasi.

Selanjutnya, Pada 1998-2000 ia kembali duduk di DPR sebagai wakil PKB. Sinar karirnya terlihat semakin terang saat ditunjuk sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan di era presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Bagi Khofifah partai adalah kendaraan. Sementara NU adalah rumah bagi dirinya. Karena itu, meski aktif di partai, Khofifah tetap mendedikasikan hidupnya untuk NU, organisasi yang selama ini berperan besar membesarkan namanya.

Meski kini ia tak lagi menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan, Khofifah tetap getol bicara isu perempuan. Kegiatan yang digelutinya pun tetap seabrek. Kegiatan kunjungan ke daerah-daerah sangat padat. Kondisi itu membuatnya kerap tinggal jauh dari suami serta empat orang anaknya.

Untunglah suami, Indar Parawansa memberikan ruang bagi Khofifah untuk berekspresi. Bila sedang tidak bertugas, sang suami yang berprofesi sebagai PNS biasanya ikut mendampingi Khofifah bila ia berkunjung ke luar kota.

Saking sibuknya, ia pernah diprotes oleh anak pertamanya yang waktu itu masih TK. Saat itu, kegiatan PKB yang baru berdiri sangat banyak, sampai-sampai ia tak bisa pulang hingga 20 hari lamanya. Protes yang dilayangkan anaknya pun tergolong unik, yaitu dengan menulis di tembok dengan tulisan besar-besar.

”Ibu, bubarkan saja partainya. Ibu nggak pernah pulang!” ungkap Khofifah soal protes anaknya itu.

Khofifah paham perasaan anaknya. Dengan lembut, ia mencoba memberikan pengertian pada si sulung. Akhirnya anaknya mengerti. Untuk memberi pengertian pada anak-anaknya, Khofifah punya cara tersendiri. Kadang ia mengajak anaknya melihat aktivitasnya di luar rumah, hingga mereka pun akhirnya paham betul dengan kesibukan ibunya di luar rumah.

Hingga kini, Khofifah masih dipercaya menjadi Ketua Umum Muslimat NU. sudah dua periode ia memimpin organisasi perempuan terbesar di Indonesia tersebut. Meski tiap hari disibukkan dengan aktivitas politik, Khofifah tetap pandai mengatur waktu. Sehingga organisasi yang dipimpinya mengalami banyak kemajuan.

Kongres Muslimat NU tahun 2006 di Batam menjadi ujian berat baginya. Ia harus bersaing ketat dengan Lily Wahid, adik kandung Gus Dur untuk menduduki jabatan Ketua Umum Muslimat. Namun karena prestasinya, ia terpilih sebagai Ketua Umum untuk yang kedua kalinya. Saat itu, ia memperoleh lebih dari 70 persen suara Pimpinan Wilayah (PW) dan Pimpinan Cabang (PC).

Sejak masih kuliah, ia mengaku telah tertarik dengan isu-isu perempuan. Karena itu, kesempatan menjadi Ketua Umum Muslimat dimanfaatkannya dengan sebaik-baiknya untuk memperjuangkan nasib perempuan.

Soal kiprahnya di politik, ia memilih berjuang dengan masuk ke dalam sistem, karena banyak sekali kebijakan umum yang diputuskan di DPR. Tidak hanya sekadar legislasi tetapi juga berkaitan dengan budget.

Khofifah memberikan peratian lebih terhadap kasus kematian ibu melahirkan yang masih sangat tinggi di Indonesia. Kematian ibu melahirkan di Indonesia mencapai 307/100 ribu per kelahiran hidup. Jumlah tersebut bisa berkurang, jika ada peningkatan anggaran untuk kesehatan.

“Kalau misalnya ada teman di DPR/DPRD yang memahami persoalan ini dan ingin ada kebijakan secara spesifik untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi, dia punya peluang dan ruang relatif luas daripada mereka yang ada di luar,” ujarnya.