Kamis, 29 Maret 2012

Biografi Boediono



Prof. Dr. Boediono, M.Ec. (lahir di Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943; umur 69 tahun) adalah Wakil Presiden Indonesia yang menjabat sejak 20 Oktober 2009. Ia terpilih dalam Pilpres 2009 bersama pasangannya, presiden yang sedang menjabat, Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dan Direktur Bank Indonesia (sekarang setara Deputi Gubernur). Saat ini ia juga mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada sebagai Guru Besar. Oleh relasi dan orang-orang yang seringkali berinteraksi dengannya ia dijuluki The man to get the job done.

Keluarga

Boediono beristrikan Herawati dan memiliki dua anak, Ratriana Ekarini dan Dios Kurniawan.

Pendidikan dan Penghargaan

Gelar Bachelor of Economics (Hons.) diraihnya dari Universitas Western Australia pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, gelar Master of Economics diperoleh dari Universitas Monash. Pada tahun 1979, ia mendapatkan gelar S3 (Ph.D.) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania.

Ia mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana tahun 1999 dan "Distinguished International Alumnus Award" dari University of Western Australia pada tahun 2007.

Karier

Boediono pertama kali diangkat menjadi menteri pada tahun 1998 dalam Kabinet Reformasi Pembangunan sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Setahun kemudian, ketika terjadi peralihan kabinet dan kepemimpinan dari Presiden BJ Habibie ke Abdurrahman Wahid, ia digantikan oleh Kwik Kian Gie.

Ia kembali diangkat sebagai Menteri Keuangan pada tahun 2001 dalam Kabinet Gotong Royong menggantikan Rizal Ramli. Sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong, ia membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter Internasional dan mengakhiri kerja sama dengan lembaga tersebut. Oleh BusinessWeek, ia dipandang sebagai salah seorang menteri yang paling berprestasi dalam kabinet tersebut. Di kabinet tersebut, ia bersama Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dijuluki 'The Dream Team' karena mereka dinilai berhasil menguatkan stabilitas makroekonomi Indonesia yang belum sepenuhnya pulih dari Krisis Moneter 1998. Ia juga berhasil menstabilkan kurs rupiah di angka kisaran Rp 9.000 per dolar AS.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, banyak orang yang mengira bahwa Boediono akan dipertahankan dalam jabatannya, namun posisinya ternyata ditempati Jusuf Anwar. Menurut laporan, Boediono sebenarnya telah diminta oleh Presiden Yudhoyono untuk bertahan, namun ia memilih untuk beristirahat dan kembali mengajar. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan (reshuffle) kabinet pada 5 Desember 2005, Boediono diangkat menggantikan Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Indikasi Boediono akan menggantikan Aburizal Bakrie direspon sangat positif oleh pasar sejak hari sebelumnya dengan menguatnya IHSG serta mata uang rupiah. Kurs rupiah menguat hingga dibawah Rp 10.000 per dolar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEJ juga ditutup menguat hingga 23,046 poin (naik sekitar 2 persen) dan berada di posisi 1.119,417, berhasil menembus level 1.100. Ini karena Boediono dinilai mampu mengelola makro-ekonomi yang kala itu belum didukung pemulihan sektor riil dan moneter.

Pada tanggal 9 April 2008, DPR mengesahkan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia, menggantikan Burhanuddin Abdullah. Ia merupakan calon tunggal yang diusulkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pengangkatannya didukung oleh Burhanuddin Abdullah, Menkeu Sri Mulyani, Kamar Dagang Industri atau Kadin, serta seluruh anggota DPR kecuali fraksi PDIP.

Ketika namanya diumumkan sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada bulan Mei 2009, banyak pihak yang tidak bisa menerima dengan berbagai alasan, seperti tidak adanya pengalaman politik, pendekatan ekonominya yang liberal, serta bahwa ia juga orang Jawa (SBY juga orang Jawa). Namun demikian, ia dipilih oleh SBY karena ia sangat bebas kepentingan dan konsisten dalam melakukan reformasi di bidang keuangan. Pasangan ini didukung Partai Demokrat dan 23 partai lainnya, termasuk PKB, PPP, PKS, dan PAN. Pada Pemilihan Umum 8 Juli 2009, pasangan SBY-Boediono menang atas dua pesaingnya, Megawati—Prabowo dan Kalla—Wiranto.

Jabatan lain

Executive Board for Asia - Wharton Advisory Boards, The Wharton School of the University of Pennsylvania
Commissioner of Commission on Growth and Development

Jabatan politik

Boediono menjadi calon wakil presiden 2009-2014 mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dideklarasikan 15 Mei 2009 di Sasana Budaya Ganesha kota Bandung. Jika terpilih, dia akan menjadi wakil presiden pertama yang berlatar belakang ekonomi dan non-partisan setelah Mohammad Hatta (wakil presiden pertama RI). Dalam acara ini dirilis sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik dan kerakyatan atau kemasyarakatan. Boediono berangkat ke Bandung dengan menggunakan kereta api regular Parahyangan.

Pro dan Kontra

Baik sekarang sebagai calon wakil presiden maupun ketika masih menjabat Menteri Keuangan, Menteri Koordinator Ekonomi, ataupun Gubernur BI, kebijakan Boediono disikapi secara beragam oleh berbagai kalangan.

Pasar diprediksi akan sambut positif pemilihannya sebagai calon wakil presiden.
Beberapa pengusaha merasa sangat yakin dengan kemampuan ekonominya, namun masih meragukan kemampuan politiknya.
Isu penentangan Boediono sebagai cawapres yang lain adalah bahwa ia tidak mewakili tokoh partai, dan ia bukan pula representasi dari partai politik Islam sebagaimana Gus Dur-Mega, Mega-Hamzah Haz dan SBY-JK.
Undang-Undang Surat Berharga Syariah Negara dan Perbankan Syariah berhasil diwujudkan ketika Boediono menjabat Menteri Koordinator Perekonomian pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Hendri Saparini, orang dekat Rizal Ramli, dan analis ekonomi-politik, melihat Boediono, yang kini menjabat gubernur BI hendak membawa negara Indonesia ke arah neoliberal. Indikasinya, utang negara secara nominal bertambah Rp 400 triliun dalam periode 2004-2009.. Walau demikian, perlu dicatat bahwa sebenarnya rasio hutang(debt ratio) kita turun drastis dari 100% di tahun 1999, 56% di tahun 2004, dan tahun 2009 tinggal 30-35% sekalipun nominal besarnya utang kurang lebih sama selama periode 2003-2008
Pada saat menjabat sebagai Menteri Keuangan pada Kabinet Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Boediono menyatakan bahwa pada dasarnya subsidi bagi rakyat harus dihapus. Ketika para petani tebu meminta proteksi, Boediono dengan menyarankan agar petani tebu menanam komoditas lain bila tebu dinilai tidak menguntungkan, ini dinilai sejumlah kalangan bertentangan dengan orientasi kemandirian pangan. Tampaknya pendapat Boediono sejalan dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati, yang menyatakan bahwa subsidi seperti candu.
Kwik Kian Gie mengatakan, Boediono memiliki peran penting dalam proses keluarnya kebijakan pemerintah terkait penyelesaian BLBI. Pasalnya, Boediono saat itu merupakan menteri keuangan pemerintahan Megawati yang tahu betul tata cara penyelesaian utang bagi para obligor BLBI. Dia (Boediono) tahu seluk-beluk ini (BLBI)
Sejumlah ekonom seperti Ekonom UGM, Prof. Dr. Mudrajad Kuncoro dan Chief Economist BNI, Tony Prasetiantono, menilai tuduhan kepada Boediono sebagai figur yang mengusung neoliberalisme dan titipan dari pihak asing sangatlah tidak berdasar. Boediono justru termasuk orang yang dekat dengan almarhum Prof. Mubyarto, tokoh UGM yang terkenal dengan gagasan ekonomi kerakyatan. Sepulang dari lulus PhD di Wharton School, University of Pennsylvania, Boediono turut membantu Prof. Mubyarto mengorganisasi Seminar Ekonomi Pancasila saat Dies Natalis Fakultas Ekonomi UGM di Bulaksumur, September 1980. Ketika hasil seminar ini dibukukan berjudul 'Ekonomi Pancasila' (penerbit BPFE Yogyakarta) tahun 1981, Boediono adalah editor buku tersebut. 'Ekonomi Pancasila' inilah yang bertransformasi dan dikenal sebagai 'Ekonomi Kerakyatan' belakangan ini.
Ekonom Faisal Basri juga menganggap tudingan 'neoliberal' dan 'antek IMF' pada Boediono sangat tidak berdasar. Ia justru menganggap kinerja Boediono dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti di pemerintahan Megawati cukup mengesankan dalam menstabilkan perekonomian Indonesia yang kacau kala itu. Boediono yang masuk kembali ke pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pasca-reshuffle kabinet juga dinilai berhasil menyelamatkan perekonomian Indonesia yang sempat mengalami kemunduran dalam 2 tahun pertama Kabinet Indonesia Bersatu pra-reshuffle

Karya dan Publikasi

Boediono, Ekonomi Indonesia Mau ke Mana?: Kumpulan Esai Ekonomi, 2009, PT Gramedia, Jakarta. ISBN 978-979-91-0189-1.
Stabilization in A Period of Transition: Indonesia 2001-2004. dalam The Australian Government-The Treasury, Macroeconomic Policy and Structural Change in East Asia: Conference Proceedings, Sydney (2005), ISBN 0-642-74290-1, 43-48 pp.
'Managing The Indonesian Economy: Some Lessons From The Past?', Bulletin of Indonesia Economic Studies, 41(3):309-324, December 2005.
'Professor Mubyarto, 1938-2005'. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 41(2):159-162, August 2005.
'Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya?', dalam Subiyantoro dan S. Riphat (Eds.). 2004. Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Penerbit Buku Kompas, 43-55 pp.
The International Monetary Fund Support Program in Indonesia: Comparing Implementation Under Three Presidents. Bulletin of Indonesia Economic Studies, 38(3): 385-392, December 2002.
Boediono. 2001. Indonesia menghadapi ekonomi global. BPFE. Yogyakarta.
Boediono. 'Strategi Industrialisasi: Adakah Titik Temu ?', Prisma, Tahun XV, No.1. (1986)
Mubyarto, Boediono, Ace Partadiredja. 1981. Ekonomi Pancasila. BPFE. Yogyakarta.

Biografi Prof. Zuhal



Prof. Dr. Ir. Zuhal MSc EE. (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 5 Mei 1941; umur 70 tahun) adalah mantan Menteri Riset dan Teknologi era Kabinet Reformasi Pembangunan dan mantan Direktur Utama PLN.

Juga sebagai Guru Besar Elektro Teknik yang meniti karier sebagai dosen dan peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI). Pendidikan tingginya ditempuh di ITB, University of Southern California, dan University of Tokyo. Di bidang Riset dan Pengembangan Teknologi, ia pernah menjabat Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) dan Ketua Dewan Riset Nasional (DRN). Di bidang korporat, ia pernah bertugas menjadi Direktur Utama (CEO) PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), saat terjadi krisis listrik tahun 1992–1995. Sedangkan sebagai Pejabat Negara, ia diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Meneg Ristek) pada Kabinet Reformasi, setelah sebelumnya pernah menjabat sebagai Direktur Jendral Listrik dan Pengembangan Energi. Dengan pengalamannya berkiprah di ranah akademis, bisnis, dan pemerintahan (triple helix) itu,ia merupakan salah seorang pendorong kuat terwujudnya Sistem Inovasi Nasional (SINAS) di Indonesia. Saat ini ia adalah Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) dan Ketua Komite Inovasi Nasional (KIN) .Zuhal adalah Guru Besar Elektroteknik pada Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (FT-UI).

Penghargaan 1. Satya Lencana Pembangunan (1995) 2. Satya Lencana Pembangunan (1996) 3. Satya Lencana Karya Satya 30 Tahun (1996) 4. Bintang Mahaputra Adipradana (1999) 5. The Order of the Rising Sun, Gold and Silver Star (Pemerintah Jepang, 2008) 6. Ganesa Prajamanggala Bhakti Adiutama (ITB, 2009) 7. Life Time Achievement Award (PII, 2009)

Penulisan Buku 1. Dasar Teknik Listrik dan Elektronikadaya, (Penerbit GRAMEDIA, Cetakan Ke-3, 1993) 2. Dasar Teknik Listrik (Penerbit ITB, Cetakan Ke-4, 1991) 3. Ketenagalistrikan Indonesia (Penerbit GANECA, 1995) 4. Visi IPTEK Memasuki Milenium III (Penerbit UI Press, 2000) 5. Prinsip Dasar Elektroteknik (Penerbit GRAMEDIA, 2004) 6. Kekuatan Daya Saing Indonesia (Penerbit Buku KOMPAS, 2008) 7. Knowledge and Innovation (Gramedia Pustaka Utama, 2010)


Penelitian dan Karya Ilmiah

1985 - 1988 : ZOPPLAN (ZUHAL OPTIMUM PLANNING) Software untuk optimasi Sistem Pembangkit Tenaga Listrik. Digunakan oleh World Bank untuk Energy Pricing Policy Study (EPPS) 1982 - 1985 : STANFORD RESEARCH INSTITUTE TSUKUBA RESEARCH INSTITUTE (UNIV. OF TOKYO) Penelitian Mathematical Modeling di bidang Optimasi Multiobjektif Pengembangan Sistem Pembangkit Tenaga Listrik

Biografi Ida Bagus Oka



Ida Bagus Oka (lahir 16 April 1936 – meninggal di Sanglah, Bali, 8 Maret 2010 pada umur 73 tahun) adalah Gubernur Bali ke-7 dengan masa jabatan 1988-1993. Ia menjadi Gubernur Bali menggantikan Ida Bagus Mantra. Pada Kabinet Reformasi Pembangunan pada pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, Ida Bagus Oka diangkat menjadi Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN.

Pada tahun 2001, Oka diadili berhubungan dengan kasus korupsi sebesar Rp. 2,3 Milyar dan dihukum selama satu tahun.


Biografi Hamzah Haz



Dr. H. Hamzah Haz (lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, 15 Februari 1940; umur 72 tahun) adalah Wakil Presiden Republik Indonesia yang kesembilan yang menjabat sejak tahun 2001 bersamaan dengan naiknya Megawati Soekarnoputri ke kursi Presiden Republik Indonesia. Dalam kepartaian, Hamzah Haz menjabat sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1998-2007.

Pada Pemilu 2004, Hamzah Haz dicalonkan sebagai calon presiden oleh partainya, PPP, berpasangan dengan Agum Gumelar sebagai calon wakil presiden, namun ia kalah dengan perolehan suara hanya 3%.

Hamzah Haz bergelar PhD (S3 / doktoral) dari American World University.


Biografi Hasan Basri Durin



Hasan Basri Durin (lahir di Nagari Jaho, Padangpanjang, Sumatera Barat, 15 Januari 1935; umur 77 tahun) adalah seorang pamong karier yang menapak dari bawah hingga menjadi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia, pada masa pemerintahan presiden Habibie pada tahun 1998-1999.

Profil singkat

Setelah meraih Sarjana Muda (1958), ia bertugas di Jambi sebagai Sekretaris Panitia Pemilihan Daerah. Kemudian kuliah doktoral di Fakultas HESP UGM. Setelah itu, menjadi Sekretaris Wali kota Jambi. Tahun 1962-1963 mendalami ilmu pemerintahan di Amerika Serikat. Dalam usia 31 tahun, Hasan Basri Durin dipercaya menjadi Penjabat Wali Kota Jambi (1966-1967). Kemudian menjabat Sekretaris Panitia Pemilihan Daerah (1970-1971). Tahun 1971, menjadi Penjabat Wali Kota Padang. Tahun 1973 terpilih sebagai Wali Kota definitif hingga tahun 1983. Setelah empat tahun menjabat Pembantu Gubernur Wilayah II, tahun 1987 ia terpilih menjadi Gubernur Sumatera Barat dua periode menggantikan Ir. Azwar Anas. Jabatan ini diembannya selama dua periode hingga tahun 1997. Selepas menjadi Kepala Daerah Hasan Basri Durin terpilih menjadi Ketua Fraksi Utusan Daerah (FUD) MPR-RI (1998).


Biografi Panangian Siregar



Panangian Siregar (lahir di Tanjung Pinang, 23 Mei 1936; umur 75 tahun) adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup periode 1998 - 1999.

Pendidikan

Beliau adalah dokter lulusan dari Universitas Sumatera Utara tahun 1963. Selain mengikuti berbagai training, di antaranya adalah Penataran P-4 di tahun 1979, dr. Panangian Siregar juga mengikuti KSA-IV Lemhannas pada tahun 1994.

Karier birokrat

dr. Panangian Siregar adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi merangkap Direktur Rumah Sakit Umum Sidikalang, Kabupaten Dairi-Sumut tahun 1964-1967. Tahun 1967-1968 menjadi Wakil Pengawas/Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara, dan pensiun dari PNS pada 11 Mei 1992 dengan golongan IVE.

Karier politik

Karier politiknya dimulai sebagai Ketua Golongan Nasionalis dan menjadi Anggota DPRD-GR Sumatera Utara di tahun 1967-1971 dan terus menjadi anggota legislatif di tingkat provinsi dan nasional hingga tahun 1998, sebelum dilantik menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Reformasi Pembangunan.

Karier politik di Legislatif:

Anggota DPRD-GR Sumatera Utara tahun 1967-1971
Anggota DPRD Sumatera Utara tahun 1971-1977
Anggota DPRD Sumatera Utara tahun 1977-1981
Anggota DPR/MPR-RI (PAW) tahun 1981-1982
Wakil Ketua Fraksi PDI DPR-RI tahun 1982-1987
Wakil Sekretaris Fraksi PDI MPR-RI tahun 1982-1987
Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI tahun 1982-1987
Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara tahun 1987-1992
Wakil Ketua DPRD Sumatera Utara tahun 1992-1997
Anggota MPR-RI tahun 1992-1997
Wakil Ketua Fraksi PDI DPR-RI tahun 1997-1998
Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI tahun 1997-1998
Tim Asistensi Pimpinan Badan Pekerjaan MPR-RI tahun 1995-1997
Wakil Ketua PANWASLAKPUS (LPU-Pemilu 1997 dan 1992)


Biografi Andi Muhammad Ghalib



Letnan Jenderal TNI Andi M. Ghalib, SH (lahir di Bone, Sulawesi Selatan, 3 Juni 1946; umur 65 tahun) adalah Duta besar Republik Indonesia untuk India sejak 8 April 2008, serta Jaksa Agung Republik Indonesia (1998-1999). Letjen TNI H.Andi Muhammad Ghalib, SH, MH adalah salah satu tokoh nasionalis yang sekarang menjabat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh di negara India untuk RI, dan diangkat atau ditunjuk oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Kontribusi

Beliau memiliki sebuah yayasan yang terletak di daerah Bogor, yaitu Yayasan Ibnu Hadjar yang mana bergerak di bidang pendidikan dan menaungi Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Dharma Andigha, SMP, SMA, SMK Taruna Andigha yang konon nama Yayasan Ibnu Hadjar diambil dari nama almarhum ayahnya.

Kasus politik

Dia ditunjuk Presiden BJ Habibie untuk menggantikan Soedjono C. Atmonegoro SH. Andi Ghalib memegang jabatan Jaksa Agung, saat ketegangan politik meningkat sehubungan dengan penyidikan kasus korupsi termasuk kasus mantan Presiden Soeharto. Puncaknya adalah tersebarnya rekaman pembicaraan telepon Jaksa Agung Andi Ghalib dengan Presiden Habibie yang membicarakan negosiasi untuk kasus-kasus tersebut.

Kemudian akhir Mei 1999, kantor Indonesian Corruption Watch (ICW) di Jalan Diponegoro, Jakarta, memperoleh kiriman paket dokumen penting dari orang tak dikenal. Isinya adalah bukti transfer uang senilai Rp 1,8 miliar dari sejumlah pengusaha ke beberapa rekening di Bank Lippo Jakarta atas nama A. Muh. Ghalib, S.H., Jaksa Agung RI. Prajogo Pangestu, bos Grup Barito Pasifik, dan The Ning King, bos Grup Argo Manunggal, adalah dua dari sejumlah nama yang mengirimkan uang itu. Kedua pengusaha ini diketahui tengah "berurusan" dengan Kejaksaan Agung menyangkut soal kredit. Karena itu, ICW curiga bahwa dana yang dialirkan ke rekening Ghalib itu tergolong suap. Pihak ICW lalu melaporkan temuan itu ke Pusat Polisi Militer (Puspom).

Riwayat kerja

Wakil Gubernur Sulsel
Pejabat Walikota Makassar
Pejabat Bupati Jeneponto
Oditur Jenderal ABRI
Kepala Badan Binkum ABRI
Jaksa Agung RI
Duta Besar LBBP RI untuk India



Rabu, 28 Maret 2012

Biografi Abdul Malik Fadjar



Prof. Dr. Abdul Malik Fadjar (lahir di Yogyakarta, Hindia Belanda (kini Indonesia), 22 Februari 1939; umur 73 tahun) adalah Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong Royong. Ia adalah lulusan tahun 1972 dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Malang.

Lelaki kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939 ini mengaku tidak pernah bermimpi menjadi menteri. Namun, amanah telah mengantarkan mantan Rektor Ummuh Malang dan UMS ini menjabat Menteri Agama pada Kabinet Reformasi dan Menteri Pendidikan Nasional pada Kabinet Gotong-Royong.

Membaca adalah bahagian yang tidak terpisahkan dalam hidupnya. Tidak hanya membaca buku. Membaca lebih dari sepuluh media cetak setiap pagi menjadi kegiatan rutinnya. Dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya, Mendiknas Abdul Malik Fadjar, mengatakan memanage pendidikan adalah memanage masa depan, yang berarti juga memanage informasi. Orang yang bisa memanage informasi akan memperoleh keberhasilan yang lebih.

Saat Presiden mengumumkan menteri dalam Kabinet Gotong Royong, ia sedang mengajar dalam kelas di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berita terpilihnya menjadi Menteri Pendidikan Nasional ia dengar dari radio.

Sesaat setelah pelantikan, kepada pers ia mengatakan masalah paling mendesak adalah bagaimana segera mewujudkan pendidikan yang lebih memanusiawikan manusia. Pendekatannya lebih humanis, yaitu ada keseimbangan antara head (rasio), heart (perasaan) dan hand, tetapi semuanya harus saling bersinergi, melibatkan keseluruhan unsur tidak jalan sendiri-sendiri.

Selama ini, pendekatan yang digunakan dalam dunia pendidikan kita masih lebih birokratik, monopolisme sehingga menyesakkan dada. Belum menumbuhkan suasana demokratis dan memberikan kebebasan hak asasi manusia. Maka ia bertekad mencari cara untuk mewujudkan keinginan pendidikan yang memanusiakan manusia itu.

Lelaki kelahiran Yogyakarta, 22 Februari 1939 ini menegaskan bahwa pendidikan harus berorientasi pada masa depan. Sementara, tuntutan-tuntutan masa depan terhadap perkembangan zaman, terus berubah. Karena itu, menurutnya, tanggung jawab menjadi seorang menteri tidak hanya saat ini, tetapi tanggung jawab masa depan.

Anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) memulai karir sebagai guru agama di SD Negeri Taliwang, Sumbawa Besar. Ia langsung menjadi guru selepas lulus dari Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) Negeri Yogyakarta tahun 1959. Jadi, ia seorang menteri yang telah merasakan bagaimana cita-duka menjadi guru di daerah terpencil. Gaji pas-pasan, ke sekolah harus naik sepeda berkilo-kilo. Bahkan saat mengajar di universitas pun, ia sering berangkat mengajar dengan membonceng motor mahasiswa.

Meskipun hidup sulit saat menjadi guru, ia mengaku merasa bersalah apabila tidak bisa memenuhi kewajibannya mengajar. Ia merasa memiliki kebahagiaan tersendiri bila mengajar. "Ada suatu perasaan yang tidak bisa saya ungkapkan saat berdiri di depan kelas dan mengajar. Sesuatu yang tidak dapat dibayar dengan materi," katanya. Ia pun yakin kalau masih banyak guru di seluruh Indonesia mempunyai komitmen tinggi dalam mendidik anak bangsa.

Kondisi guru yang pas-pasan tak membuatnya berhenti menjemput masa depan. Setelah menjadi guru agama selama empat tahun, pada tahun 1963, ia meneruskan pendidikan ke jenjang sarjana muda di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang. Kemudian, dilanjutkan lagi hingga meraih gelar sarjana tahun 1972. Begitu lulus ia mengajar di almamaternya. Kemudian menjadi Sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel hingga tahun 1979.

Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjutkan studi di Department of Educational Research, Florida State University, Amerika Serikat. Dari sana ia meraih gelar Master of Science tahun 1981. Setelah itu, ia mendapat kehormatan menjadi guru besar di IAIN Sunan Ampel.

Kemudian anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan Fadjar Martodiharjo dan Salamah, ini dipercaya menjabat sebagai Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (Unmuh Malang) tahun 1983 hingga tahun 1984. Lalu menjabat Rektor di dua universitas yakni Unmuh Malang dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) hingga tahun 2000.

Tahun 2000, ia diangkat menjadi guru besar di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Karirnya memuncak saat diangkat menjabat Menteri Agama pada masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie. Pada pemerintahan Gus Dur, ia kembali ke kampus. Lalu pada era kepemimpinan Megawati, ia diangkat menjadi Mendiknas.

Sejak kecil ia sudah aktif di kegiatan kepanduan di Yogyakarta. Semasa kuliah pun, ia juga termasuk aktivis Himpunan Mahasiswa Indonesia. Sejak tahun 1972 ia aktif di Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia, juga aktif di Muhammadiyah, ICMI dan HIPIIS.

Pendidikan, Masa Depan
Pendidikan sebagai kebutuhan hidup, memainkan peranan sosial atau dukungan terhadap pertumbuhan dan juga memandu perjalan umat manuisia, baik itu perorangan, masyarakat, bangsa dan negara. Lazim disebut education is the necessity of life as social function, as growth, as direction. Maka posisi pendidikan menjadi sebuah kegiatan yang merangkum kepentingan jangka panjang atau masa depan.

Bukan sekedar kebutuhan dalam pengertian yang umum, tetapi sebagai kebutuhan mendasar. Pendidikan juga sering disebut sebagai investasi sumber daya manusia, dan sebagai modal sosial seseorang. Sehingga tidak akan mungkin selesai, tetapi berkelanjutan. Jadi membicarakan pendidikan adalah membicarakan masa depan. Dan masa depan selalu mengalami perubahan yang luar biasa.

Jauh sebelum ahli pendidikan masa depan Alvin Pufler menegaskan bahwa pendidikan terkait dengan perkembangan masa depan, Rasolallah Muhammad telah bersabda "Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka adalah anak generasi zaman berbeda dengan zaman kamu".

Jadi harus memberikan hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga hal-hal yang terus berlangsung. Karena hidup itu terus berlangsung, maka menangani pendidikan sebetulnya sama dengan menangani masa depan, memanage masa depan. Oleh karena itu harus terus–menerus diperbaharui, dipertegas dan dipertajam.

Sama dengan orang makan. Seorang bayi kecil ketika lahir, hanya diberi susu ibu. Kemudian secara bertahap dikondisikan untuk bisa berkembang. Begitu juga akan hal yang material dan inmaterial harus terpadu. Kecerdasan juga harus terpadu, yakni kecerdasan emosi, spritual dan intelektual.

Untuk menjemput masa depan adalah sebuah proses. Di situlah peran seorang pendidik untuk mengkondisikan, baik di tengah keluarga, masyarakat ataupun secara formal di sekolah. Sehingga sekarang orang pun tidak terlalu memilah-milah antara pendidikan sekolah dan di rumah yang merupakan terminologi pendidikan klasik yang formal. Itu sudah menyatu, bahkan orang menyebutnya sebagai entity, sudah tidak ada batas. Bahkan pada jenjang lebih tinggi ada di masyarakat. Oleh karena itu pendidikan tidak pernah berakhir, maka lalu ada istilah Life Long Education.

Sebelum itu juga, Rasulallah Muhammad telah menyampaikan bahwa pendidikan itu dimulai dari bai sampai liang lahat. Kemudian muncul istilah belajar sepanjang hayat, life long learning, pendidikan usia dini, dan sebagainya. Itu istilah-istilah akademis, dalam prakteknya sudah berjalan. Agar hal itu menjadi sistematis maka dibangunlah sistem. Sehingga setiap negara membangun sistem pendidikannya. Dan tentu hal itu semua dikaitkan dengan lingkungan geografisnya, demografisnya, sospol, agama dan yang lain.

Maka sepanjang pengalamannya sebagai murid atau juga sebagai guru, selalu saja orang mempertanyakan bagaimana pendidikan yang tepat untuk sebuah generasi atau satu generasi. Kemudian dari situ orang melakukan pembaharuan-pembaharuan, ditambah dengan teori-teori manajemen untuk mencari pemecahan masalah yang efesien, efektif, produktif, dan berkualitas dengan berbagai penemuan yang kreatif dengan membangun sekolah-sekolah unggulan.

Faktor perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi itu luar biasa. Di dalam dunia pers saja sudah luar biasa. Berapa sumbangan yang diberikan dunia informasi terhadap pendidikan?

Bangsa ini juga telah melahirkan komitmen yang tertuang dalam UUD 45, setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan pendidikan bahkan wajib memperoleh pelayanan pendidikan yang baik.

Karena pendidikan adalah untuk masa depan yang tidak bisa mudah diprediksikan tentu dengan UUD tersebut dapat lebih mudah diprediksi. Tentu hal ini memerlukan dukungan fasilitas dan biaya yang luar biasa besarnya. Sering kita tidak pernah menghitung, karena hal itu perlu adanya perhitungan secara ekonomis, sehingga lahirlah teori-teori ekonomi pendidikan yang orang menyebutnya mencari rate of return.

Oleh karena dasar itulah, bangsa ini berkomitmen menempatkan sebagai wajib, sehingga ada subsidi. Subsidi pada pendidikan itu juga tidak akan pernah selesai dan tidak pernah mencukupi. Makanya disebut subsidi. Walau itu tidak berlebih-lebihan juga. Oleh karena itu jelas bahwa pendidikan itu menjadi tanggung-jawab keluarga, orangtua, masyarakat dan negara.

Tentu negara-negara yang kaya memiliki subsidi yang besar di dalam anggaran pendidikannya. Tapi coba kita bayangkan dana yang dikeluarkan oleh orangtua, masyarakat, berapa? Jadi itulah yang kita perlu pikirkan. Kita tidak boleh terjebak kepada yang masa kini atau yang telah kita lewati tetap menjadi pengalaman, tetapi kita harus lebih menatap ke depan.

Kalau kita bayangkan 2004-2010 bagaimana kehidupan Indonesia? Perubahan akan banyak terjadi. Perubahan yang terjadi di tahun 1998 hingga sekarang saja hampir kita tidak pernah bayangkan. Jadi para pendidik seharusnya mengamati dan memperhatikan masalah itu dengan pendekatan yang terpadu dan komperhensif.

Luar biasa dan mengasyikan juga. Tapi itu semua harus dilihat kunci utamanya apa? Kalau dalam terminologi pendidikan disebut the basic (membaca, menulis, dan berhitung) atau three art (reading, writing and arimatic) sekarang di perluas dengan kemampuan berbahasa (bukan hanya kemampuan bahasa Indonesia tetapi juga bahasa asing). Faktor dasar ini harus menjadi kuat kalau Anda sudah bisa membaca, menulis, berhitung dan dengan berbahasa yang baik, yang lain hanya tinggal mengikuti saja. Nah mengajar the basic-lah yang paling berat. Bukan hanya SDM guru atau pengajar sekolah dasarnya saja tetapi semua guru di seluruh jenjang harus ditingkatkan.

Pendidikan itu tidak pernah berakhir. Saya sekarang juga masih jadi dosen, tetapi tidak boleh berhenti untuk belajar berpikir, sehingga ada istilah berpikir dan berpikir kembali. Think and re-think, Shape dan re-shape. Pendidikan itu harus dipikirkan dan dipikirkan kembali dan dibentuk dan dibentuk kembali. Seperti sekarang pendidikan dengan teknologi modern menggunakan pendekatan-pendekatan multi-dimensi.

Sistem pendidikan itu memiliki dua misi, seperti dua sisi sekeping mata uang, moral dan intelektual. Moral itu agama, budaya, tradisi, sosial dan yang lain, sedangkan intelektual adalah kecerdasaan dan ideologi (menyangkut ideologi bangsa dan negara). Maka setiap negara memiliki bangunan-bangunan yang disebut sebagai sistem. Ada yang berdasarkan sistem liberal, sistem klasik, sistem nasional. Ada juga menggunakan sistem agama sebagai bagian ideologi, maka digunakan sistem Islam. Hampir semua dalam implementasinya tidak banyak jauh berbeda namun masih dapat dibedakan.

Seperti sekolah yang menggunakan sistem liberal dengan sistem nasional, tentu ada perbedaanya. Tetapi semua itu tidak bisa diseragamkan. Tidak tujuan dari pendidikan untuk menyeragamkan anak. Di sekolah, pakaian seragam bukan bertujuan dan berarti untuk menyeragamkan anak. Biarpun seragam, namun tiap individu adalah berbeda. Dalam satu keluarga saja sudah berbeda, apalagi sudah lain bapak dan ibu, lain suku, lain etnis.

Dengan sejarah perkembangan pendidikan nasional, yang dirintis oleh bangsa kita jauh sebelum masa kemerdekaan, di sana Budi Utomo, Taman Siswa, dan Muhammadiyah, dikukuhkan sebagai satu sistem dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Kemudian dikembangkan dan diperbaiki pada tahun 1950 dengan dilahirkannya UU No. 4 tahun 1950, namun tidak sempat diundangkan. Baru kemudian pada tahun 1954 dikeluarkan UU No. 12 tahun 1954. Perdebatan yang saat ini ada sudah ada saat itu.

Kemudian pada zaman Bung Karno, tahun 1959, setelah Dekrit Presiden, pada tahun 1960, lahirlah Panca Wardana dalam rangka membangun National Character Building, belum sempat itu terbenahi sudah diperbaharui lagi dengan Sapta Usaha Tani yang semua intinya sama, tidak jauh berbeda. Tetapi kekuasaan atau politik itu selalu mempengaruhi pendidikan. Kemudian juga yang terjadi pada zaman orde baru begitu banyak perubahan. Demikian juga dengan zaman reformasi sekarang yang menuntut perubahan. Dan setiap perubahan akan menimbulkan polemik, perdebatan dan pro-kontra. "Jadi kalau hal itu terjadi saya sudah tidak kaget lagi," katanya.

Bahkan, menurutnya, dulu waktu menyusun undang-undang pendidikan dan pengajaran tahun 1950, ketika masa pemberontakan DITII di Aceh, mereka menolak untuk menerima undang-undang tersebut dan mengacam bahwa Sumatera akan menolak undang-undang pendidikan dan pengajaran tersebut.

Sangat wajar jika ada perbedaan-perbedaan pendapat. Oleh karena itu perlu diadakan pendekatan-pendekatan mengenai konvensi. Tetapi bukan berarti tidak ada ada pro-kontra. Pro-kontra selalu ada. Di dalam demokrasi pasti ada kesepakatan, walaupun tidak bulat, sudah berarti sepakat. Akhirnya implementasinya juga akan diatur dalam peraturan pemerintah. Tetapi namanya zaman sekarang sudah cair, ketika rancangan UU No. 2 saja pernah ramai, apalagi sekarang.

Ia menyimpulkan pengalaman hidupnya, bahwa menjadi guru itu mengasyikan, mengajar itu mengasyikan. Sedangkan kalau menteri berbeda dalam masalah menyita pikiran dan tenaga. Memiliki lingkup yang lebih besar dan berhubungan dengan birokrasi, hubungan nasional dan internasional, ada pendekatan seni yang berbeda.

Namun, menjadi menteri, ia merasa biasa-biasa saja. Karena ketika setelah menjadi menteri agama, ia kembali mengajar. Sekarang pun ia juga masih mengajar. Menurutnya salah satu yang membuat menjadi guru itu mengasyikan adalah guru itu tidak mengenal kata pensiun, pensiunnya sebagai pegawai saja. Di rumah saja masih dipanggil Pak Guru.

Hatinya Menangis
Kendati ia termasuk menteri berusia tua (nomor dua paling tua setelah Kwik Kian Gie) di jajaran Kabinet Gotong Royong, ia selalu bersemangat dalam bekerja. Ia sering melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau, untuk melihat potret pendidikan Tanah Air.

Saat keliling daerah dan melihat kondisi SD di beberapa daerah, hatinya menangis. "Menangis hati saya melihat itu semua," katanya dalam wawancara dengan Suara Pembaruan. Bangunan SD itu tidak pernah direnovasi sejak tahun 1970-an. Waktu berkunjung ke Irian, ia berpikir, pantas mereka minta merdeka, tidak ada pembangunan di sana.

Departemen ini diposisikan sebagai lembaga yang paling bertanggung jawab untuk mencetak generasi penerus bangsa. Sementara hingga saat ini, pendidikan bangsa ini masih dinilai tertinggal. Ketertinggalan atau kegagalan pendidikan itu pula disebut sebagai penyebab utama rontoknya bangsa ketika menghadapi krisis multidimensi. Lebih prihatin lagi, manakala korupsi di Depdiknas sudah membudaya.

Ia berharap, mudah-mudahan sejak masuk departemen ini hal itu tidak terjadi lagi. Harapan itu muncul karena ia terus memantau proyek-proyek yang ada di Depdiknas. Salah satu yang ia lakukan adalah tidak pernah mau didatangi rekanan pemborong. Kalau pemborong datang untuk mengobrol, ia persilakan. Tapi kalau sudah mulai membicarakan proyek, ia tidak mau. Itu memang sudah menjadi wataknya sejak menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Malang dan Surakarta. Di dua lembaga pendidikan tinggi itu, dulu ia membangun bermiliar-miliar, dan tidak pernah mau untuk berbicara soal proyek dengan kontraktor.

Sebelum menjabat Mendiknas, ia juga sempat menjabat Menteri Agama, departemen yang kaya penyimpangan. Saat menjabat Menteri Agama itu, ia pernah pegang uang sampai triliunan. "Yang namanya haji, pasti uangnya besar sekali. Tapi maaf-maaf saja kalau saya diajak menyelewengkan dana itu," ujarnya. Lihat juga, ia menjadi satu-satunya menteri agama yang tidak naik haji. "Tugas saya di sana adalah mengawasi saja. Jadi begini, kalau kita memberi keteladanan, setahap demi setahap, pasti akan ada hasil," ujarnya saat diwawancara Suara Pembaruan.

Ia pun berupaya melakukan kontrol ke bawah. Diawali keteladanan, dari dirinya sendiri. Lalu, setiap ada kasus atau tender, selalu ia cek. Ia juga banyak mendapat laporan. Kalau ia merasa ada yang tidak beres, langsung dibatalkan. Ia tidak peduli siapa yang pegang, pokoknya kalau ada keanehan, ia minta untuk segera dibatalkan.

Hasilnya, alhamdulilah, dana Jaring Pengaman Sosial, Bahan Bakar Minyak, yang disalurkan melalui Depdiknas relatif bagus. Laporan Depdiknas menjadi laporan terbaik dua tahun 2002-2003 versi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.

Ia memang mengembangkan program block grant di Depdiknas. Program ini sangat menguntungkan karena langsung menuju ke sasaran. Orang tidak bisa macam-macam dengan hal itu.

Baginya, tidak ada toleransi terhadap KKN. Ia berharap jangan Depdiknas saja yang harus bersih dari KKN, tapi semua sistem pemerintahan. KKN jangan ada lagi. Mental korup harus dihilangkan.

Menyinggung mengenai sistem lulus dan tamat belajar, ia bilang orang mengulang itu biasa dalam belajar. Kesalahan pemahaman tentang ini sudah muncul sejak anak duduk di bangku sekolah. Kalau tidak naik kelas orangtuanya ngamuk. Guru akhirnya tidak berani tidak menaikkan. "Saya bilang, coba kalau tidak lulus jangan diluluskan," jelasnya. Harus dibedakan antara lulus dan tamat belajar. Zaman dulu ada lulus dan tamat belajar. Hanya yang luluslah yang bisa melanjutkan sekolah.

Ini yang harus diubah. Yang penting bisa baca, menulis, berhitung, tahu tentang lingkungannya. Ia juga sudah bicara dengan rektor universitas dan direktur-direktur sekolah tinggi lainnya. Sekarang mereka buat kelas ekstensi, kelas eksekutif, doktor, semua dibuka. "Saya orangnya keras, dengan rektor saya juga keras. Saya bilang pada mereka, untuk apa sih gelar, kalau memang belum mampu, jangan diluluskan."

Sesungguhnya ada masalah juga dalam hal standar kelulusan ini. Yakni dengan kondisi dan fasilitas sekolah yang berbeda dituntut standar kelulusan yang sama.Maka, ia pun sependapat semua sekolah harus diberi fasilitas yang sama. Ia mengaku sudah pernah membicarakan hal ini di sidang kabinet dan dengan presiden. Presiden menanyakan, berapa yang dibutuhkan untuk merenovasi SD di seluruh Tanah Air. Untuk SD saja diperlukan sekitar Rp 16-18 triliun. Karena memang SD di seluruh Tanah Air sejak tahun 1970-an tidak pernah direhabilitasi.

Hal ini tentu berakibat pada Human Development Index (HDI) Indonesia yang begitu rendah. Walaupun kalau dambil 10 persen dari seluruh penduduk, tidak terlalu buruk.

Jumlah penduduk jangan dianggap sebagai suatu hal yang memberatkan. Paradigma pendidikan juga harus diubah. Pendidikan harus dibuat sebagai investasi jangka panjang. Ini human investment. Seperti Korea, dia membangun sumber daya manusianya. Sekarang pemerintah sudah menunjukkan kemauan politik dengan mengamandemenkan UUD 1945. Dana untuk pendidikan 20 persen, itu kan berarti ada kemauan politik yang bagus. Meskipun belum terpenuhi. Tapi komitmen sudah ada.

Pendidikan tidak ada hentinya, proses itu harus terus berlanjut. Negeri yang berani investasi sumber daya manusia, itulah yang berhasil. Bisa dilihat Malaysia, Singapura dan Korea Selatan. Meskipun sumber daya alamnya sedikit, tapi mereka menanamkan investasi di sumber daya manusia, mereka bisa maju. Korea Selatan mampu menaikkan pendapatan per kapita dari 600 dolar menjadi 9.000 dolar dalam waktu relatif singkat, 20 tahun. Sekarang disusul oleh Cina dan Filipina sudah mulai menikmati.

Jumlah penduduk jangan menjadi beban, tapi istilahnya sourcing center, bagaimana pemerintah bangga dengan rakyatnya. Karena tenaga kerja yang ada di luar negeri bisa menyumbang devisa US$ 8 miliar per tahun. Ini luar biasa. Jadi jangan menjelek-jelekkan TKW. Walau diakui sering mendengar penjualan tenaga kerja ke negara asing, atau kisah menyakitkan yang dialami para TKW. Tapi yang bagus juga banyak. Tolong semua itu diberitakan secara berimbang.

Kalau mau melihat pendidikan, sepanjang fase pasti ada kelemahan. Maka pendidikan tidak pernah selesai. Memulai suatu fase, berarti harus melakukan penyegaran di sana. Itulah bicara pendidikan. Saat krisis, kita baru sadar betapa pentingnya pendidikan. Itulah kenyataan yang harus kita hadapi sekarang, tidak usah saling menyalahkan. Justru saat ini kita harus tampil untuk melakukan sesuatu untuk mengadakan perbaikan. Seperti otonomi, banyak yang mengatakan kalau itu terlambat, kok baru sekarang dilakukan, kemudian berandai-andai. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Mengenai perguruan tinggi, menurutnya, seperti birokrasi pemerintahan. Maka harus diregulasi dan direstrukturisasi secara besar-besaran. Dulu dilakukan depolitisasi kampus, sekarang dilepaskan tanpa ada regulasi baru. Ia melihat banyak hal yang harus perbaiki di perguruan tinggi. Ia sudah menyampaikan lewat tulisan dan rapat dengan rektor. Ia berharap perbaikan perguruan tinggi itu jangan top down terus. Diperlukan inisiatif dan otonomi.

Otonomi itu menyangkut tiga aspek. Pertama, pembangunan sistem pelaksanaan, termasuk manajeman dan kurikulum. Dan yang paling tahu soal itu adalah daerah. Kedua akuntabilitas, pertanggungjawaban, ini mutlak. Pada siapa? Pertama pada masyarakat, orang tua peserta didik, terakhir pada Tuhan. Pada masyarakat iya, karena pendidikan itu menyangkut masa depan, menyangkut perjalanan masa depan anak bangsa. Jangan asal-asalan jangan melakukan pembodohan, apalagi menipu. Yang ketiga, memberi jaminan terhadap mutu pendidikan. Yang masih kurang, suruh saja mengulang. Kenapa sih takut sekali mengulang. Lebih baik mengulang daripada memberi nilai tambahan.

Sampai sekarang ia masih menguji S2 dan S3. Kalau yang ia uji jelek, ia minta mahasiswa tersebut mengulang ujian. Meluluskan itu sebuah pertanggungjawaban, baik secara institusional baik sebagai individual.

Baginya, pekerjaan guru adalah sebuah komitmen. Ia sudah menjadi guru sejak tahun 1959. Pahit getirnya menjadi guru sudah pernah ia rasakan. Jalan kaki, naik sepeda berkilo-kilo, itu harus dilakukan untuk mengajar. Tetapi ada rasa dosa kalau tidak masuk mengajar. Menurutnya, saat ini pun masih banyak guru yang baik, yang mempunyai kepedulian tinggi.

Waktu menjabat Dirjen Depag, ia sudah bilang kalau guru di Jakarta itu minimal take home pay-nya Rp 1 juta per bulan. Guru SMP Rp 1,5 juta. Tapi ia diketawai oleh guru-guru di desa. Kata mereka, jangankan Rp 1 juta, sekarang saja suami istri yang berprofesi guru sudah dianggap orang kaya di daerah. Mungkin kondisi guru di daerah tidak terlalu parah. Tetapi di Jakarta, anak SD diantar dengan mobil mewah oleh sopir, sementara gurunya turun dari angkot. Bayangkan, seperti itu yang terjadi.

Solusinya, kita harus berani memulai, langkah menuju perbaikan harus dikondisikan. Salah satu, mangajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Walaupun mendapat tentangan, tidak apa-apa. Ia bilang pada universitas swasta kalau surat hanya perlu ditandatangani rektor, tidak perlu koordinator perguruan tinggi swasta (Kopertis). Tapi yang di bawah selalu menjawab tidak berani, belum siap. Kalau kita selalu bilang belum siap, kapan kita akan siap kalau tidak pernah memulainya.

Mengenai restrukturisasi yang dilakukan di empat perguruan tinggi negeri (PTN), UI, UGM, ITB, dan IPB, menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) sejak tahun 2002, ia yakin akan berjalan dengan baik. "Yang swasta saja bisa apalagi PTN, yang hingga saat ini masih disubsidi. Mereka sekarang tidak berani karena pola yang ada masih birokrasi. Mengubah itu tidak gampang, tapi harus. Kita sebagai orang yang ditugasi untuk menjalankan tugas tersebut itu harus berani dan konsisten menjalankannya," ujarnya.


Biografi Fahmi Idris



Fahmi Idris (lahir di Jakarta, 20 September 1943; umur 68 tahun) adalah seorang pengusaha dan politikus Indonesia. Ia adalah Menteri Perindustrian dalam Kabinet Indonesia Bersatu (dilantik 7 Desember 2005). Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam kabinet yang sama, sebelum digantikan oleh Erman Suparno dalam perombakan yang dilakukan Presiden Yudhoyono pada Desember 2005.

Fahmi lulus dari Universitas Indonesia (UI) dalam bidang ekonomi. Fahmi adalah seorang aktivis sebelum masuk ke dalam dunia politik. Pada tahun 1965-1966, ia adalah Ketua Senat Fakultas Ekonomi UI. Setelah lulus dari UI, ia terjun ke dalam dunia usaha. Pada tahun 1984, ia bergabung dengan Golkar.

Politisi Golkar ini telah tiga kali menjabat menteri. Pertama menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Pembangunan VII (Maret 1998-Mei 1998). Kedua menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabinet Indonesia Bersatu, hanya setahun. Kemudian ketiga, dipercaya menjabat Menteri Perindustrian menggantikan Andung A. Nitimihardja, pada reshuffle kabinet yang diumumkan 5 Desember 2005 dan dilantik 7 Desember 2005.


Selama menjabat menteri, tampaknya dia tidak sempat memiliki prestasi gemilang. Beliau sempat dipecat dari keanggotaan dan kepengurusan DPP Partai Golkar, akibat aktivitasnya mendukung SBY-JK menjelang Pilpres putaran kedua. Dia memprakarsai Forum Pembaharuan Partai Golkar dan menentang Koalisi Kebangsaan (hasil Rapim Partai Golkar) yang mendukung Mega-Hasyim.

Namun setelah pasangan SBY-JK terpilih jadi Presiden dan Wakil Presiden, Fahmi diangkat menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kemudian setelah Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar, keanggotaannya di Golkar dipulihkan dan diangkat jadi Anggota Dewan Penasehat DPP Partai Golkar.

Mantan Menteri Tenaga Kerja Kabinet Pembangunan VII ini di kala kecil dikenal bengal -- senang menantang teman-temannya berkelahi. Kala itu dia bercita-cita menjadi tentara. Pengagum Jenderal De Gaulle itu sangat tertarik melihat kegagahan dan sikap heroik tentara. Cita-cita itu tidak tercapai. Dia malah kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, tapi tidak rampung. Namun sikap heroiknya terasa tersalurkan ketika dia turut ambil bagian menggusur Orde Lama, 1966.

Mantan Ketua Senat Fakultas Ekonomi UI (1965-1966), ini tidak merampungkan kuliah ekonominya di Universitas Indonesia untuk merintis usaha. Bakat wiraswastanya menurun dari ayahandanya Haji Idris gelar Marah Bagindo, seorang pedagang. Walaupun kemudian dia melanjutkan studinya ke Fakultas Ekonomi Extension UI dan pendidikan Financial Management for Non-Financial Manager (1973)

Ketua Laskar Arief Rachman Hakim (1966-1968), ini memulai berusaha bersama rekan-rekan eksponen 66. Mereka mendirikan PT Kwarta Daya Pratama, 1969. Kemudian aktif dalam 10 perusahaan. Di antaranya, PT Kodel (Kelompok Delapan), bersama Soegeng Sarjadi, Ponco Nugro Sutowo, Jan Darmadi, dan Aburizal Bakrie, bergerak di bidang perdagangan, industri dan investasi. menantu KH Hasan Basri, ini juga menjadi direktur di PT Krama Yudha, baik perusahaan patungan mobil dengan Jepang maupun divisi kawat las yang bekerja sama dengan Philips dari Negeri Belanda.

Perusahaan lainnya adalah PT Parama Bina Tani, PT Delta Santana, PT Wahana Muda Indonesia, PT Dharma Muda Pratama, PT Ujung Lima, dan CV Pasti. Perusahaan-perusahaan tersebut membidangi usaha agrokimia, perlengkapan industri minyak dan gas bumi, konstruksi dan rekayasa untuk pabrik metanol di Bunyu, pergudangan dan muatan, dan transpor.

Kemudian suami dari Kartini Hasan Basri, psikolog di RS Cipto Mangunkusumo, ini berkiprah dalam politik praktis. Pada 3 Maret 1984, bersama sejumlah eksponen 66, bekas tokoh HMI ini meneken pernyataan masuk Golkar, langsung di hadapan ketua umumnya, Sudharmono. Dia memilih Golkar, karena dia melihat adanya aspek kemanusiaan yang menampung semua persamaan pikiran dan hobi di Golkar.

TKI Ilegal

Seusai serah terima jabatan dari Jacob Nuwa Wea di Kantor Depnakertrans, Jakarta, Kamis (21/10/2004), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris menegaskan segera membentuk tim khusus untuk menangani pemulangan sekitar 700.000 TKI ilegal dari Malaysia.

Pemulangan TKI ilegal dari Malaysia, menurut Fahmi, menjadi salah satu prioritas kerjanya. "Saya sudah bicarakan soal TKI ilegal itu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika dipanggil sebelum ditetapkan menjadi Mennakertrans (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi)," katanya.

Fahmi juga mengatakan, untuk meningkatkan kinerja di lingkungan Depnakertrans, ia akan berkoordinasi dengan seluruh jajarannya. Setelah itu, dia akan melakukan pembicaraan dengan berbagai pihak menyangkut pemberian tunjangan hari raya, pemutusan hubungan kerja, dan soal penempatan TKI ke luar negeri.

Secara bergantian Fahmi berencana mengundang pengusaha, serikat pekerja, empat organisasi perusahaan jasa TKI (PJTKI), serta lembaga swadaya masyarakat.

Sebagai program 100 hari, Fahmi juga akan mempelajari Undang-Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 yang menuai banyak protes dari pekerja karena dinilai terlalu memihak kepentingan dunia usaha. Seperti pasal yang mengatur pengunduran diri dari perusahaan tidak mendapat uang pesangon kecuali kebijakan dari perusahaan tersebut pekerja itu sudah memiliki masa kerja lama.


Biografi Adi Sasono

Adi Sasono (lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 16 Februari 1943; umur 69 tahun) adalah mantan Menteri Koperasi dan UKM pada era Kabinet Reformasi Pembangunan. Ia dikenal sebagai tokoh LSM dan berbagai aktivitas kemasyarakatan lainnya. Selain itu ia juga merupakan tokoh [(Himpunan Mahasiswa Islam]] (HMI), Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI), Pelajar Islam Indonesia (PII) dan ICMI dengan pernah menjadi Sekretaris Umum pada tahun 1990-an.

Adi Sasono merupakan anak dari pasangan Adnan Martawiredja dan Sasinah Ranuwihardjo. Ayahnya dikenal sebagai tokoh penggerak pembauran warga pribumi dan nonpribumi di Pekalongan. Bersama sang istri, ayahnya juga tercatat sebagai aktivis sosial terutama dalam bidang pendidikan dan penyantunan anak yatim dan fakir miskin. Kepedulian orang tuanya terhadap kegiatan kemasyarakatan khususnya yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat di kemudian hari juga menurun pada Adi Sasono.

Setelah tamat SMA, cucu dari Mochammad Roem ini melanjutkan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa duduk di bangku kuliah, Adi sudah aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan. Selain pernah menduduki kursi Ketua Dewan Mahasiswa ITB (1965-1966), ia juga sempat menjadi Ketua Umum HMI Cabang Bandung (1964-1965).

Selain terlibat dalam organisasi mahasiswa, sejak tahun 80-an Adi juga dikenal aktif di sektor kemasyarakatan melalui wadah LSM. Padahal ia pernah menjadi manajer di PT Krama Yudha, namun jabatan itu ia tinggalkan meski memberikan materi yang cukup menjanjikan. Pada tahun 1988 hingga 1993, Adi menjadi ketua Tim Pengkajian Pengembangan Perumahan Rakyat di Kementerian Perumahan Rakyat. juga pernah menjadi ilmuwan senior di BPPT, serta sempat menjabat sebagai anggota Dewan Riset Nasional periode 1993-1999.

Sebagai aktivis LSM, suami dari Male Maria ini selalu berusaha dekat dengan rakyat kecil. Adi yang sejak kecil sudah terbiasa melihat kedua orangtuanya mengabdikan hidup pada masyarakat kelas bawah terinspirasi untuk melakukan hal yang sama. Ia mendekat dengan mereka yang kian terpinggirkan, mulai dari petani, tukang becak, nelayan, pedagang kakilima, buruh, hingga pemulung sampah. Merekalah yang menurut Adi kian tertindas dalam sejarah sosial yang panjang sejak jaman penjajahan hingga masa kemerdekaan karena kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi kepada sektor modern dan kepentingan kaum elit.

Sebelum zaman reformasi bergulir, kebanyakan orang lebih memilih tiarap, menyerah pada keadaan, membungkuk kepada kekuasaan, dan kepentingan kebendaan. Sebagian kaum terdidik dan profesional bahkan cenderung bersikap oportunistik, sebagian lagi masuk ke dalam sistem mencoba ‘merubah dari dalam’ namun ternyata mereka malah ‘dirubah’ di dalam sistem.

Adi Sasono berpendapat bahwa mustahil menjalankan pemikiran tanpa tindakan sosial alternatif. Oleh karena itu, harus dibangun kesadaran dan kehendak rakyat untuk bisa mengambil prakarsa untuk merubah nasib melalui tindakan bersama. Ia berprinsip harus ada siklus antara pemikiran, penyadaran, dan tindakan sosial dalam satu rantai berkesinambungan untuk mewujudkan transformasi sosial dari masyarakat yang feodal, yang membungkuk pada kekuasaan dan cenderung menyembah kepada harta benda menjadi masyarakat yang maju, setara, modern, demokratis dan beradab. Artinya harus ada transformasi sosial dari masyarakat terbelakang pra-madani menjadi masyarakat madani.

Berangkat dengan pemikiran teoritis tadi, ia banyak melahirkan buku-buku dalam perspektif ekonomi politik tentang ketergantungan dan kemiskinan. Melalui LSM yang dipimpinnya, berbagai penghargaan tingkat nasional dan internasional juga telah berhasil diraihnya, antara lain Agha Khan Award untuk perencanaan dan pembangunan kota dengan prinsip "membangun tanpa menggusur" yang merupakan proyek di kota Samarinda oleh Lembaga Studi Pembangunan (LSP). Selain itu melalui lembaga yang sama untuk proyek Low Cost Housing Perumahan Buruh Pabrik Bina Karya di Bandung. Di tingkat nasional, PUPUK (Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil), sebuah LSM yang pernah didirikan dan dipimpinnya memperoleh penghargaan Upakarti yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk pengembangan industri kecil pada tahun 1990. Sembilan tahun berselang, Adi memperoleh penghargaan Bintang Mahaputera Adi Pradana.

Media pun tak mau ketinggalan menyikapi sepak terjang Adi sebagai aktivis LSM yang menggalakkan program ekonomi kerakyatan. Dalam satu tulisan di Majalah Far Eastern Economic Review edisi minggu pertama Desember 1998, bahkan menjulukinya sebagai "The Indonesia’s Most Dangerous Man?" (Orang Indonesia yang Paling Berbahaya?). Menurut majalah mingguan itu, julukan tersebut diberikan pada Adi karena kebijakan politik ekonomi kerakyatannya yang membuat khawatir para pelaku bisnis konglomerat. Lain halnya dengan majalah The Economist, majalah dari Inggris itu menyebutnya sebagai Robin Hood van Java.

Adi Sasono berpendapat bahwa mustahil menjalankan pemikiran tanpa tindakan sosial alternatif. Oleh karena itu, harus dibangun kesadaran dan kehendak rakyat untuk bisa mengambil prakarsa untuk merubah nasib melalui tindakan bersama. Ia berprinsip harus ada siklus antara pemikiran, penyadaran, dan tindakan sosial dalam satu rantai berkesinambungan untuk mewujudkan transformasi sosial dari masyarakat yang feodal, yang membungkuk pada kekuasaan dan cenderung menyembah kepada harta benda menjadi masyarakat yang maju, setara, modern, demokratis dan beradab.

Anggapan dirinya sebagai sosok yang ’berbahaya’ menurut Adi menunjukkan ketidakpahaman berbagai pihak tentang kebijakan ekonomi kerakyatan. Ia menjelaskan bahwa tugas utama kebangsaan adalah mengoreksi ketidakadilan yang telah berlangsung lama dalam sejarah Indonesia yang menyebabkan sekelompok kecil orang menguasai hampir semua sumber daya ekonomi dan politik. Sementara di sisi lain, rakyat jelata harus bergulat dalam lingkaran kemiskinan yang serba berkekurangan bahkan untuk sekadar mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Padahal, dalam sejarah bangsa, rakyat kecillah yang mendukung perjuangan kemerdekaan melawan penjajah. Dalam masa krisis sektor ekonomi, rakyat yang mempertahankan kelangsungan hidup negara karena kemampuannya menyerap kesempatan kerja dan meredam ketegangan sosial.

Pengalaman yang lalu memberi pelajaran ketergantungan kepada konglomerat menciptakan ketergantungan asing karena besarnya komponen impor dalam proses pembangunan nasional. Kemandirian nasional hanya mungkin dibangun kalau dasar pembangunan ekonominya adalah rakyat dengan prakarsa kemampuan dan sumber daya lokal yang tinggi. Tanpa kemandirian sulit dibayangkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terhormat. Karena itu, diantara tugas kebangsaan yang mendesak membangun kemandirian adalah dasar dari pernyataan rasa nasionalisme kita. Dengan dasar nasionalisme kerakyatan, Adi yakin, bangsa Indonesia akan tampil kembali sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat.

Ekonomi rakyat yang maju akan membuat lingkungan sosial menjadi lebih bersahabat untuk dunia usaha dan memperluas basis masyarakat konsumen yang berdaya beli tinggi. Karena itulah menurut keyakinan Adi, koreksi ketidakadilan harus digerakkan tidak untuk menghancurkan perusahaan besar. Paham ekonomi rakyat tidak anti yang besar, yang dipersoalkan adalah kecenderungan monopoli yang menciptakan ekonomi biaya tinggi dan beban bagi rakyat konsumen karena ketiadaan kompetisi di dalam proses ekonomi pasar. Paham ekonomi rakyat ditujukan untuk mengatasi ketidakadilan dan kemiskinan masal yang menjadi sumber ketegangan sosial selama ini. Perjuangan membangun ekonomi rakyat diarahkan agar terbentuk kelas menengah sebagai mayoritas masyarakat bangsa yang mendukung pembangunan sejati yang berkelanjutan dan dasar bagi terbentuknya masyarakat yang demokratis.

Dalam perjalanan hidupnya, Adi pernah menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM Kabinet Reformasi era Presiden BJ Habibie. Dengan jabatan yang awalnya dipegang oleh Subiyakto Tjakrawerdaya itu, kesempatan untuk memperjuangkan kesejahteraan kaum miskin semakin terbuka lebar dimana rakyat petani, nelayan serta usaha mikro dan kecil di seluruh Indonesia dipercepat peengembangan ekonominya.

Menurut Adi, nasib manusia harus diperjuangkan. Perbaikan nasib tidak akan jatuh dari langit. Karena itu, seluruh komponen bangsa harus bersatu untuk membangun kesadaran kolektif bagi terwujudnya keadilan sosial dan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya baik secara politik maupun ekonomi.

Prinsip keadilan, adalah kata kunci dalam menjalani hidupnya, termasuk ketika bertugas sebagai menteri. Ia berharap, prinsip keadilan menjadi roh yang mewarnai perjalanan hidup bangsa menuju Indonesia Baru. Dengan terus memupuk keyakinan bahwa konsep negara dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tak akan pernah sirna. Sayangnya jabatan tersebut hanya diembannya kurang dari dua tahun, dari 23 Mei 1998 hingga 20 Oktober 1999.

Setelah sempat menghilang, Adi kembali meramaikan panggung politik dengan mengusung bendera Partai Merdeka, sebuah partai politik yang didirikannya pada 10 Oktober 2002. Partai tersebut pertama kali tampil dalam pemilu tahun 2004 dan 2009.

Tiga aspek yang ditonjolkan dalam prinsip partai ini adalah aspek kebangsaan, kerakyatan dan kemandirian. Para pendiri partai ini sebelumnya menyalurkan aspirasi dan pemikiran mereka kepada partai politik yang telah ada terlebih dahulu. Dalam perjalanannya karena merasa tidak ada parpol yang mampu mewujudkan aspirasi tersebut, maka akhirnya mereka bergabung dan mendirikan Partai Merdeka di bawah komando Adi Sasono.

Partai Merdeka mempunyai fokus program kerja untuk memajukan ekonomi kerakyatan dengan dukungan dari organisasi koperasi, serikat pekerja, guru, usaha kecil menengah, pedagang kaki lima, nelayan dan kaum intelektual.

Selain itu, ayah lima anak ini juga aktif di berbagai organisasi profesi. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Pimpinan harian Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) selama dua periode berturut-turut, 2004-2009 dan 2009-2014.

Dalam sebuah pidatonya saat masih menjabat sebagai Ketua Pimpinan harian Dekopin di Seminar Sehari tentang Perkoperasian Dalam Rangka Memperingati HUT Koperasi ke-61 tahun 2008, Adi menyampaikan pandangannya mengenai koperasi dan UKM.

Ia menilai dalam menghadapi tantangan global, pelaku koperasi dan UKM perlu merubah cara berpikirnya menjadi pola berpikir kreatif dan inovatif. Bila tidak, maka negara-negara lain terutama negara yang memiliki modal besar akan tetap menjadikan Indonesia sebagai sapi perahan ekonominya. Menurutnya, mulai merubah cara pikir merupakan hal yang amat penting, mengingat saat ini yang menguasai perekonomian dunia bukan lagi mereka yang memiliki sumber daya alam dan bahan baku berlimpah. Orang yang menguasai perekonomian adalah mereka yang mampu berpikir kreatif dan menciptakan berbagai inovasi baru.

Ia juga memberi contoh bentuk pemerasan negara lain yang menjadikan Indonesia sebagai 'sapi perahan', di antaranya Indonesia sebagai sumber bahan mentah, sumber buruh berpenghasilan rendah dan sumber pemasaran serta sumber pasar potensial atas berbagai produk yang diciptakannya.

"Jadi, negara asing membeli bahan baku di negeri ini dengan harga murah yang kemudian diolah dengan mempekerjakan tenaga kerja Indonesia dengan penghasilan sangat rendah. Hasil produksi tersebut kemudian dijual lagi ke Indonesia dengan harga mahal," jelas mantan Sekretaris Umum ICMI tahun 90-an itu.

Untuk menghindari penjajahan gaya baru semacam itu dan tidak terus terjadi di Indonesia, ia meminta agar masyarakat terutama pelaku koperasi dan UKM di Tanah Air berpikir kreatif dan inovatif dengan menciptakan dan meningkatkan berbagai produk unggulan, termasuk produksi kerajinan dan pertanian unggulan masing-masing daerah.

Adi juga menyoroti langkah pemerintah mengundang dan memfasilitasi pemilik-pemilik modal asing seperti Carrefour, Alfamart dan perusahaan retail lainnya untuk mengembangkan usahanya di Indonesia sebagai langkah yang keliru. Sebab, kehadiran pemilik modal asing ini akan menghabisi dan menyingkirkan usaha-usaha rakyat terutama kalangan pelaku kecil dan menengah, seperti kios-kios dan warung-warung kecil.

Memang diakuinya, sudah menjadi sifat konsumen yang ingin mendapatkan pelayanan yang cepat dan tepat di tempat yang layak dan bersih. Namun untuk mensiasati hal itu sebenarnya tidak perlu mendatangkan pemilik modal asing, cukup dengan cara memoderenkan pasar-pasar tradisional dengan tempat dan lokasi yang lebih menarik.

Biografi Marzuki Usman



Marzuki Usman (lahir di Mersang, Jambi, 30 Desember 1943; umur 69 tahun) adalah mantan Menter Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada Kabinet Reformasi Pembangunan. Ia menikah dengan Aswarni pada tahun 1972 dan memiliki lima orang anak. Ia adalah anak keempat dari sembilan bersaudara, dari pasangan H. Usman Abul dan Cholijah asal Minangkabau.

Pendidikan

Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Organisasi

Mantan Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)

Karya Buku

Tiga Menakbir Mimpi, terbitan tahun 1998

Karier

Kepala Badan Pengelola Pasar Modal (Bapepam), Departemen Keuangan, 1988-1992
Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), Departemen Keuangan, 1991-1995
Kepala Badan Analisis Keuangan dan Moneter, Departemen Keuangan, 1996
Komisaris Utama PT Bursa Efek (BEJ), Jakarta
Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya ((Men Parsenibud), 1998-1999
Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), 1999
Deputy Chairman PT Lippo E-Net, Tbk
Menteri Kehutanan RI, 2001


Biografi Muslimin Nasution


Dr Ir Muslimin Nasution (lahir di Tapanuli, 26 Januari 1939; umur 73 tahun) adalah Menteri Kehutanan dan Perkebunan pada Kabinet Reformasi Pembangunan. Saat ini ia menjadi salah satu anggota Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Sayang tidak banyak riwayat hidup beliau yang bisa saya ceritakan kepada anda, karena kurangnya sumber sejarah yang menceritakan tentang kehidupan beliau.


Biografi Bambang Subianto



Bambang Subianto adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia Kabinet Reformasi Pembangunan yang menjabat dari 23 Mei 1998 sampai 20 Oktober 1999. Setelah menerima gelarnya di Faklutas Teknik Kimia (Institut Teknologi Bandung - ITB) pada tahun 1973, Bambang bergabung dengan Institut Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) sebagai peneliti, dan tak lama kemudian (1975) sebagai seorang dosen.

Pada tahun 1978, dia melanjutkan pendidikannya pada Universitas Katolik Leuven, di Belgia dan mendapatkan gelar S2 Keuangan Perusahaan dan Ekonomi Bisnis pada tahun 1981, dan juga gelar Doktoral di bidang Organisasi Industri pada tahun 1984.

Dr. Bambang Subianto kembali ke Indonesia pada tahun 1984 dan kembali berperan dalam pengembangan Institut Manajemen Fakultas Ekonomi - Universitas Indonesia (FEUI).

Pada tahun 1988, Dr. Bambang Subianto bergabung dengan Departemen Keuangan sebagai Direktur pada Direktorat Institut Keuangan dan Akutansi. Pada tahun 1992, dia dipromosikan sebagai Dirjen Direktorat Institut Keuangan pada Departemen Keuangan. Selama masa jabatannya sebagai Dirjen dia turut aktif dalam pengembangan hukum dan peraturan ekonomi, termasuk Hukum Kapital Pasar (1995), Pendapatan Perusahaan di luar Pajak (1997), dan peraturan yang mengharuskan semua perusahaan di Indonesia untuk melaksanakan transaparansi dengan mendaftarkan laporan keuangan mereka yang telah di-audit pada lembaga yang telah ditunjuk, dan memaparkan laporan tersebut ke khalayak umum (1998).

Ditengah krisis moneter pada bulan Januari 1998, Dr. Bambang Subianto ditunjuk sebagai Kepala BPPN yang pertama. Di bulan Mei 1998 dia menjadi Menteri Keuangan Indonesia (1998 - 1999).

Setelah berkiprah di berbagai macam karier dalam layanan publik, Bambang bergabung dengan Ernst & Young, sebagai partner di bulan Juli 2000, dan pensiun pada tahun 2005. Setelah itu ia ditunjuk sebagai Preskom PT Star Energy Investments Komisaris Independen PT Unilever Indonesia Tbk.


Biografi Muhammad Yunus Yosfiah




Muhammad Yunus Yosfiah (lahir di Rappang, 7 Agustus 1944; umur 68 tahun) adalah salah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan yang terakhir pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Ia adalah lulusan Akmil tahun 1965. Jabatan tersebut, beserta Departemen Penerangan yang dibawahinya, kemudian dihapuskan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada bulan Maret 2007, petugas penyidik sebab kematian di Australia mengeluarkan perintah penangkapan atas Yosfiah atas kematian lima wartawan di Timor Timur 32 tahun sebelumnya. Saat itu Yosfiah memimpin sebuah penyerangan ke desa Balibo.

Karier

Kolonel:Asisten Operasi Kepala Staf Komando ABRI XVI
Komandan Resort Militer 164 Wiradharma, Dili, Timor Timur
Brigadir Jenderal:Direktur Peningkatan Pembangunan dan Pendidikan Akademi Militer
Kepala Staf Daerah Militer VI/ Tanjungpura
Mayor Jenderal:Komandan Pusat Persenjataan Infanteri TNI
Panglima Daerah Militer II/Sriwijaya
Komandan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat
Letnan Jenderal:Kepala Staf Sosial Politik ABRI


Biografi Syarwan Hamid



Syarwan Hamid (lahir di Siak, Riau, 10 November 1943; umur 69 tahun) adalah salah satu tokoh militer dan politik Indonesia. Ia pernah menjadi Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Reformasi Pembangunan. Ia juga dikenal sebagai tokoh gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII) semasa mudanya dulu.

Ia seorang perwira tinggi yang termasuk sukses. Saat terjadinya Peristiwa 27 Juli, Alumnus Akademi Militer Nasional 1966, ini menjabat Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI, suatu jabatan politik militer yang amat berkuasa pada era itu. Namun tumbangnya Orde Baru tidak serta-merta membuat karirnya terhenti. Bahkan pada awal reformasi, pria kelahiran Siak, Riau, 10 November 1943, ini sempat menjabat Menteri Dalam Negeri (1998-1999).


Ia putera Riau yang mencapai puncak karir sebagai Menteri Dalam Negeri. Suatu jabatan strategis yang sebelumnya hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Tetapi Syarwan memecah dominasi orang-orang tertentu itu. Memang, bukan kali ini saja ia memecah ‘tradisi buruk’ seperti itu. Ketika ia menjabat Kapuspen ABRI dengan pangkat bintang satu (brigadir jenderal) pada tahun 1993-1995, orang mengira itu merupakan jabatan terakhirnya. Sebab sangat jarang terjadi seorang perwira yang memegang jabatan juru penerang militer itu naik ke jabatan-jabatan strategis lainnya. Tetapi, ‘tradisi buruk’ itu tidak berlaku bagi Syarwan.

Ia berhasil menunjukkan siapa dirinya pada saat menjabat Kapuspen ABRI itu. Sehingga ia dipromosi menjadi Asisten Sosial Politik Kepala Staf Sosial Politik ABRI dengan pangkat Major Jenderal (bintang dua). Bahkan satu tahun kemudian, penggemar fotografi yang memiliki koleksi puluhan kamera, ini diangkat menjadi Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI, suatu jabatan politik militer yang amat berkuasa pada era itu. Pangkatnya pun naik menjadi letnan jenderal (bintang tiga). Dialah orang pertama lulusan AMN 1966 yang mendapat pangkat letnan jenderal.

Kemudian, pada 1997, ia dikaryakan menjadi Wakil Ketua DPR/MPR mewakili ABRI. Ketika reformasi bergulir, dan Soeharto jatuh, karirnya masih menanjak. BJ Habibie menunjuknya menjadi Menteri Dalam Negeri. Barulah setelah Habibie jatuh pada Sidang Umum MPR 1999 (pertanggungjawabannya ditolak SU-MPR), Syarwan pun ikut turun gelanggang. Kemudian ia sempat mencoba bangkit dengan cara memperjuangkan aspirasi masyarakat Riau. Ia malah salah seorang yang setuju dengan gagasan negara federal. "Hubungan pusat daerah harus diperbaiki. Bentuk negara paling berhasil adalah negara federal," katanya ketika itu. Suatu pernyataan yang bertolak belakang dengan prinsip militer.

Suami dari Endang Agustini, ini meniti karir di militer selepas lulus Akademi Militer Nasional (AMN) tahun 1966. Ia juga telah mengasah diri melalui Sekolah Staf dan Komando ABRI , Seskoad dan Lemhanas.

Ia menjabat Kasrem 063/SGJ (1985). Kemudian dipercaya menjabat Kapendam III/Siliwangi (1986), Pardor Sarli Dispenad (1988) dan Asisten Teritorial Kodam Jaya (1989). Setelah itu ia ditugasi menjadi Danrem 011/Lilawangsa, Aceh (1990). Saat menjabat Komandan Korem Lilawangsa, Lhokseumawe, Aceh, ini ia dianggap berhasil meredam pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka terhadap NKRI. Bintangnya pun bercahaya untuk masuk ke jajaran perwira tinggi. Ia pun diangkat menjabat Kadispen TNI Angkatan Darat (1992) dengan pangkat brigadir jenderal (bintang satu). Tak lama kemudian menjadi Kapuspen TNI (1993), Assospol Kassospol ABRI (1995) sampai menjabat Kassospol ABRI (1996) dengan pangkat letnan jederal.

Saat ia menjabat Kassospol ABRI itu terjadi Peristiwa 27 Juli 1996. Ia pun diduga terlibat dalam kasus itu dan yang melatarbelakangi tragedi itu. Pada 27 Juli 1996 itu terjadi penyerbuan berdarah ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta, sebagai bagian dari upaya kekerasan menggulingkan Megawati Sukarnoputri dari posisi Ketua Umum DPP PDI.

Ketika itu pemerintah menyelenggarakan Kongres PDI (Partai Demokrasi Indonesia) di Medan untuk mengganti Megawati dengan Soerjadi. Syarwan membantah, ide penggulingan itu dari dirinya. Menurutnya, Mendagri Yogie S. Memed selaku pembina politik yang menyarankan agar diadakan kongres untuk menyelesaikan konflik dalam tubuh PDI. Ia juga membantah terlibat dalam kasus berdarah 27 Juli 1966 itu.


Selasa, 27 Maret 2012

Kabinet Reformasi Pembangunan [1998-1999]

Kabinet Reformasi Pembangunan adalah kabinet pemerintahan Presiden RI ketiga BJ Habibie (1998-1999). Kabinet ini terdiri dari sejumlah menteri koordinator, sejumlah menteri pemimpin departemen, sejumlah menteri negara, Sekretaris Negara, dan Jaksa Agung.

Menteri departemen

1 Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid
2 Menteri Luar Negeri Ali Alatas
3 Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Wiranto
4 Menteri Kehakiman Muladi
5 Menteri Penerangan Yunus Yosfiah
6 Menteri Keuangan Bambang Subianto
7 Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan
8 Menteri Pertanian Soleh Solahudin
9 Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto
10 Menteri Kehutanan dan Perkebunan Muslimin Nasution
11 Menteri Pekerjaan Umum Rachmadi Bambang Sumadhijo
12 Menteri Perhubungan Giri Suseno Hadihardjono
13 Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya Marzuki Usman
14 Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Adi Sasono
15 Menteri Tenaga Kerja Fahmi Idris
16 Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan AM Hendropriyono
17 Menteri Kesehatan Faried Anfasa Moeloek
18 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Soedarsono
19 Menteri Agama Malik Fajar
20 Menteri Sosial Justika Baharsjah

Menteri negara

21 Menteri Negara Sekretaris Negara Akbar Tandjung
(sampai dengan Mei 1999),
Muladi
(sejak Mei 1999)
22 Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Boediono
23 Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT Zuhal
24 Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara/Kepala Badan Pengelola BUMN Tanri Abeng
25 Menteri Negara Pangan dan Holtikultura A.M. Saefuddin
26 Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN Ida Bagus Oka
27 Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Hamzah Haz
(sampai dengan Mei 1999),
Marzuki Usman
(sejak Mei 1999)
28 Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Hasan Basri Durin
29 Menteri Negara Perumahan Pemukiman Theo L. Sambuaga
30 Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Bapedal Panangian Siregar
31 Menteri Negara Peranan Wanita Tuti Alawiyah
32 Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Agung Laksono

Menteri negara koordinator

33 Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Feisal Tanjung
34 Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita
35 Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Hartarto Sastrosoenarto
36 Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Haryono Suyono

Pejabat setingkat menteri

37 Jaksa Agung Andi Ghalib